Saya ragu bahwa pemanggilan Ahok oleh Bareskrim Polri kemarin itu (29/7), adalah sebuah pemeriksaan murni. Saya lebih yakin bahwa pemanggilan Ahok untuk diperiksa terkait proyek UPS itu adalah dskusi. Ya, diskusi dan tanya-tanya di antara para penyidik Bareskrim Polri kepada Ahok sekaligus pemberitahuan siapa-siapa tersangka baru dan perkembangan penyidikan terkait proyek UPS itu. Alasannya adalah:
Pertama, Ahok sendiri yang melaporkan kepada KPK lalu kemudian disalip oleh Bareskrim Polri, tentang adanya proyek UPS yang tidak pernah diketahui oleh Gubernur, Wakil Gubernur dan Sekda DKI Jakarta. Kalau Ahok dan penasehat hukumnya tahu dan sadar bahwa mereka juga bertanggungjawab atas proyek itu, tidaklah mungkin Ahok segegabah itu melaporkan proyek UPS itu kepada KPK. Jadi Ahok sama sekali tidak terkait dengan korupsi UPS itu. Dialah pelapor dan bukanlah terlapor. Lalu untuk apa Ahok diperiksa? Apalagi kalau bukan diskusi.
Kedua, Publik pun tahu bahwa Ahok adalah teman sejati Presiden Jokowi. Lagi pula kalau Ahok ikut bertanggung jawab terkait UPS itu, maka jelas juga bahwa Jokowi sebagai Gubernur DKI kala itu, ikut juga bertanggungjawab. Malah Jokowilah yang pertama-tama bertanggungjawab atas proyek itu karena Jokowi Gubernur sedangkan Ahok hanya wakil saat itu. Maka hal yang mustahil bagi Kabareskrim Budi Waseso jika berani memeriksa Jokowi. Jokowi adalah atasan Polri. Jokowi yang memilih dan mengangkat Kapolri dengan persetujuan DPR. Memeriksa Jokowi adalah blunder besar bagi Budi Waseso yang jabatannya masih di bawah Kapolri. Jadi pemeriksaaan Ahok hanyalah diskusi atas 21 topik terkati proyek UPD. Diskusi itu hanyalah finalisasi sebelum mengumumkan tersangka baru.
Ketiga, Sebelumnya haji Lulung telah beberapa kali dipanggil sebagai saksi oleh Bareskrim Polri dan masih belum ditingkatkan statusnya sebagai tersangka. Lulung yang sebelumnya diperiksa bolak-balik sebagai saksi atas kasus itu sangatlah mungkin ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri setelah pertemuan dengan Ahok. Pemanggilan Ahok untuk diperiksa hanyalah strategi Bareskrim untuk mengurangi kritik atas penersangkaan Lulung. Itu juga sebagai tindakan keseimbangan agar para oknum DPRD DKI Jakarta tidak merasa dibedakan oleh Bareskrim Polri dengan sang Gubernur. Maka langkah pemanggilan Ahok adalah langkah bijak Bareskrim Polri sebelum menetapkan tersangka baru yang lebih besar terkait proyek UPS itu.
Keempat, hubungan antara Ahok-Polri selama ini sangatlah mesra. Ahok sebelumnya telah menggelontarkan dana hibah sebesar Rp 32 miliar pada tahun 2015 kepada Polda Metro Jaya. Selanjutnya Ahok akan berencana menambah dana hibah untuk Polda Metro Jaya yang akan digunakan untuk pembangunan pusat kendali CCTV di Mapolda Metro Jaya, kemudian membangun pusat pemantauan CCTV hingga ke sub-sektor. Selain itu, uang hibah tersebut pun akan digunakan untuk membangun Kantor Mapolres Jakarta Pusat dan lainnya. Bahkan Ahok berencana memberikan uang saku dan uang makan kepada TNI-Polri yang bertugas di DKI Jakarta. Komisaris Jenderal Budi Waseso tentu saja tak enak hati menyeret Ahok lantaran sejawatnya di Polda Metro Jaya mendapat “hadiah” dari Pemprov DKI Jakarta yang kini dipimpin Ahok dan sebelumnya juga sejawatnya di Polres Jakarta Utara “diberi” pos polisi di kawasan Waduk Pluit sewaktu Jakarta dibawah Gubernur Jokowi.
Jika Budi Waseso berani memeriksa Ahok sebagai terperiksa dan mengusik kedudukannya sebagai orang nomor satu di DKI, maka hal itu sebetulnya sudah dilakukan oleh Budi Waseso jauh-jauh hari jika ia mau dan berani. Faktanya para penyidik Bareskrim Polri belum pernah memanggil Ahok untuk diperiksa terkait dugaan penistaan atas lembaga negara Badan Pemeriksaaan Keuangan (BPK) yang telah memberi rapor jeblok atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bukan hanya jeblok, laporan BPK juga menemukan sejumlah kejanggalan yang berindikasi merugikan keuangan daerah dan berpotensi merugikan keuangan daerah, yang nilainya sangat dahsyat, mencapai triliunan rupiah.
Seperti telah banyak diberitakan, Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014 mendapat opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) dari BPK. Pasalnya, BPK mendapatkan 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun yang berindikasi merugikan daerah dan berpotensi merugikan daerah. Program yang berindikasi merugikan daerah senilai Rp 442 miliar dan yang berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun. BPK juga menemukan kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar.
Kemudian ada beberapa temuan yang disorot BPK dan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Temuan itu adalah aset seluas 30,88 hektare di Mangga Dua dengan PT DP yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset. Selain itu, pembelian pengadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat tidak melewati proses pengadaan memadai. Ada indikasi kerugian negara senilai Rp 191 miliar.
Bukan hanya itu. BPK juga menemukan Pemprov DKI mengalami kelebihan bayar biaya premi asuransi senilai Rp 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp 3,05 miliar. Temuan lain dari BPK yang perlu diwaspadai Pemprov DKI adalah penyertaan modal dan aset ke PT Transportasi Jakarta yang tak sesuai ketentuan. Ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi, dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.
Namun yang kemudian dipersoalkan Ahok bukannya audit BPK yang menyangkut uang rakyat yang sangat besar nilainya itu, tapi malah soal pertanyaan auditor BPK terkait uang operasional dan uang makannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Malah Ahok meminta anggota BPK melakukan pembuktian harta terbalik berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi PBB Melawan Korupsi. Dalam peraturan itu disebutkan, jika harta seorang pejabat publik tidak sesuai dengan biaya hidup dan pajak yang dibayar, maka hartanya akan disita negara, dan dia dinyatakan sebagai seorang koruptor.
Jadi kalau Budi Waseso adil dan tidak diskrimantif maka Bareskrim harus juga menyidik kerugian negara dengan nilai Rp 7 triliun dari APBD Pemda DKI. Perbedaan suap dan korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tipikor: suap tidak ada unsur kerugian negara; dalam korupsi, unsur menentukan. Kasus di Sumut jelas suap. Jika Budi Waseso tidak memeriksa Ahok terkait temuan BPK itu maka itu jelas diskriminatif karena gubernur-gubernur lain sudah ditetapkan tersangka ketika ditemukan unsur kerugian negara dan masuk ranah Undang-Undang Tipikor. Gubernur Bengkulu tersangka karena negara rugi Rp 365 juta; di Pemda DKI, negara rugi Rp 7 trilun menurut BPK, aneh, jika tidak ada langkah konkrit.