Dua lembaga tinggi negara berbeda tabiat. DPR yang diharapkan kritis dan berani ternyata hanya tukang stempel atas usulan-usulan Presiden. DPR setuju pencalonan Sutiyoso sebagai kepala BIN, Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI dan terakhir enam calon Hakim Agung yang telah disetujui oleh Presiden diterima dengan mulus oleh DPR. Sebaliknya usulan-usulan dari DPR, dengan gampang tanpa telaah, ditolak oleh Presiden. Apa yang sedang terjadi pada dua lembaga tinggi negara itu? Mari kita cermati lebih lanjut dengan hati sabar dan pikiran jernih.
Sejatinya DPR kritis dan berani menolak pencalonan Sutiyoso sebagai kepala BIN oleh Presiden Jokowi. Alasannya ada tiga. Pertama, selain hanya calon tunggal, Sutiyoso adalah sosok yang tidak bersih terkait peristiwa perebutan kantor DPP PDIP Juli 1996 saat ia menjadi Pangdam Jaya. Sutiyoso dianggap bertanggung jawab atas jatuhnya korban pada peristiwa tersebut. Kedua, prestasi minim Sutiyoso selama sepuluh tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta juga menjadi pertimbangan DPR untuk menolaknya. Ketiga, usia lanjut Sutiyoso yang sudah kepala tujuh, diragukan memimpin BIN yang butuh semangat empat lima.
Bersamaan dengan diterimanya Sutiyoso menjadi kepala BIN, DPR juga wajib mengkritisi pencalonan Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI. Ada tiga hal yang perlu dikritisi oleh DPR untuk menolak Gatot Nurmantyo. Pertama, selain hanya calon tunggal, penunjukkan Jokowi atas Gatot Nurmantyo dan angkatan darat, sarat dengan kepentingan politik dan tidak searah dengan pembangunan di bidang maritim yang sedang digalakkan oleh Jokowi. Jika Jokowi dengan tol lautnya dan bertekad memberantas illegal logging, maka calon panglima TNI dari angkatan lautlah yang lebih diutamakan. Kedua, Gatot adalah anak emas SBY yang dipersiapkannya sebagai Panglima TNI. Jika demikian dimana letak independensi Jokowi yang bisa menentukan calon Panglima TNI? Ketiga, Gatot adalah sosok orang yang tidak tegak lurus kepada Panglima Tertinggi atau Pangti. Itu terbukti pada sepak terjangnya di TNI AD yang main copot, tanpa nanya sana-sini terlebih dahulu. Jika Jokowi tidak hati-hati, maka ke depan, Gatot bisa melilit Presiden Jokowi yang berlatar belakang sipil.
Tabiat DPR yang hanya tukang stempel terlihat jelas lagi pada persetujuan DPR atas enam calon hakim agung menjadi Hakim Agung. Keenam calon hakim agung yang disetujui adalah Maria Anna Saiyati, Wahidin, Yosran, Sunarto Suhardjono dan A Mukti Arto. Sebetulnya tiga di antara calon hakim agung tersebut diragukan kapasitas dan kompetensinya. Namun DPR menutup mata dan memberi pengesahan keenam calon hakim tersebut dalam sidang paripurna DPR Jumat (3/72015) bersamaan dengan pengesahan calon Kepala BIN dan Calon Panglima TNI.
Jika DPR sebagai tukang stempel, maka Presiden sebaliknya tukang cap rejected (tolak). Hanya dalam satu setengah bulan sudah tiga usulan signifikan DPR yang ditolak oleh Presiden Jokowi.
Pertama, revisi UU Pilkada yang diusulkan oleh anggota DPR telah ditolak oleh Presiden Jokowi pada tanggal 20 Mei 2015. Padahal DPR sudah susah payah membangun opini publik terkait revisi UU Pilkada. Bahkan DPR datang secara khusus di istana bertemu dengan Presiden Jokowi meminta persetujuan revisi UU itu. Namun Jokowi menolaknya dengan alasan sederhana, singkat dan to the point. UU Pilkada itu belum pernah dipakai, belum diuji, masak direvisi lagi? Jadi UU Pilkada itu tidak perlu direvisi, mari kita gunakan yang ada sekarang ini dulu. Demikian alasan sederhana Jokowi. DPR hanya diam mendengar penolakan Jokowi, tanpa ada perlawanan berarti.
Kedua, revisi UU KPK yang amat sangat ingin direvisi oleh DPR, ditolak oleh Jokowi. Alasannya, KPK perlu dikuatkan, didukung dan UU KPK yang ada sekarang ini sudah cukup kuat. Lagi-lagi anggota DPR tidak berkutik dan diam tanpa perlawanan. Suara-suara anggota DPR yang berusaha membangun opini hilang lenyap dan semakin samar-samar. Lewat Menkumham Yasona Laoly, Jokowi menyampaikan bahwa revisi UU KPK tidak perlu sekarang ini.
Ketiga, usulan dana aspirasi dari DPR secara tersirat ditolak oleh Jokowi. Alasannya jelas: DPR tidak boleh menjadi eksekutor anggaran. Di tengah kelesuan ekonomi, tidak perlu ada dana itu, dana ini. Kita gunakan dana yang ada secara efisien, tepat guna, terukur dan sehemat mungkin. Demikian penjelasan sederhana Jokowi. Tidak bertele-tele, tidak berbelit-belit, lurus dan langsung kena sasaran. Lagi-lagi DPR tidak berkutik. Trio anggota DPR yang menjadi singa DPR selama ini, Fahri Hamzah, Fadli Zon dan Bambang Soesatyo tidak bisa berbuat banyak atas penolakan Presiden Jokowi.
Mengapa DPR menjadi hanya tukang stempel atas usulan-usulan Presiden Jokowi dan mengapa DPR tidak melakukan perlawanan kepada Jokowi atas penolakan usulan-usulan mereka? Mungkin jawabannya terletak pada dana parpol satu triliun per partai yang akan disetujui oleh Presiden Jokowi dan sedang dibuat peraturannya. Untuk mengelabui publik, Mendag menyatakan menghentikan pembahasannya. Padahal sedang ada pembahasan alot tentang perpres dan permennya. Bahkan dana partai satu triliun ini sedang diwacanakan kenaikannya menjadi 10- 20 kali lipat. Tentu saja para anggota DPR di Senayan bersama partainya masing-masing, sangat gembira, senang, girang sambil melompat-lompat jika dana parpol ini bisa menjadi kenyataan. Maka tak heran demi dana parpol, para anggota DPR rela menjadi tukang stempel. Oh….begitu.
Asaaro Lahagu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H