Mohon tunggu...
Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Isu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ketika DPR dan Golkar Ical Mengemis Habis Kepada Presiden Jokowi

15 Mei 2015   10:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:02 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Benar sekali kata mantan Presiden Gusdur, bahwa DPR itu seperti Taman Kanak-kanak. Mereka kadang merengek, marah, meminta diperhatikan atau meminta belas kasihan dengan wajah memelas kepada Presiden. Aksi memelas DPR kepada Presiden terlihat sekali terkait revisi undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). DPR yang seharusnya menjaga wibawa karena lembaga itu setara dengan Presiden, namun memelas meminta belaskasihan. Nama besar DPR jelas direduksi mencapai kepentingan politis.  Mengapa DPR dan Golkar Ical  kali ini benar-benar mengemis kepada Presiden Jokowi? Mari kita telaah lebih lanjut sebab-musabah aksi ngemis tersebut dengan lapang dada.

Koalisi Merah Putih (KMP) yang tinggal menyisakan Golkar Ical, Gerinda dan PKS benar-benar di ujung tanduk. Arah kematian KMP mulai nyata saat PPP yang dimotori oleh Romahurziy menyatakan ikut koalisi KIH. Tidak lama kemudian Partai Demokrat menyatakan keluar dari KMP dan merintis jalan non koalisi, membuat KMP semakin goyah. Guncangan hebat terjadi ketika PAN berhasil diambil alih oleh Zulkifi Hasan dari Hatta Rajasa dan memulai kemesraan bersama KIH. Tinggalah Golkar Ical, Gerinda dan PKS dalam KMP yang masih bertahan dan meratapi nasib yang semakin sengsara.

Masalah semakin pelit dan genting bagi KMP ketika Golkar Ical terancam tidak bisa ikut Pilkada. Dalam undang-undang Pilkada jelas dikatakan bahwa hanya partai yang telah mengantongi SK MenkumHAM yang bisa mengajukan calon kepala daerah dalam Pemilukada. Golkar Agung dan PPP kubu Romahurziy yang telah mengantongi SK MenkumHAM, sudah jelas berada di atas angin dan berhak ikut Pilkada. Bila Golkar Ical tidak bisa ikut Pilkada maka imbasnya terasa bagi Gerinda dan PKS. Ini jelas sebagai mimpi buruk bagi Golkar Ical, Gerinda dan PKS. Nasib PKS sendiri sangat bergantung pada Golkar Ical. PKS yang terkenal lihai dan licik bermanufer itu hanya punya daya tawar bila mengekor pada Golkar Ical dan Gerinda. Berkat Golkar dan Gerindalah, PKS yang semakin terpuruk itu masih bisa meloloskan Fahri Hamzah sebagai wakil ketua DPR dan Hidayat Nurwahid sebagai wakil ketua MPR. Tanpa Golkar Ical, PKS hanyalah partai gurem yang licik dan tidak berarti apa-apa bagi partai-partai KIH. Oleh karena itu, para pimpinan DPR yang nota bene dari KMP yang terdiri dari Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Setya Novanto terus melakukan manufer dan strategi agar Golkar Ical bisa ikut Pilkada.

Manufer pertama yang dilakukan oleh para pimpinan DPR adalah melakukan rapat konsultasi dengan KPU dan pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri. Dalam rapat konsultasi itu,  DPR memberi tiga rekomendasi kepada KPU. Pertama, agar KPU berkoordinasi dengan KemenkumHAM untuk memberikan salinan SK DPP partai yang mendapatkan pengesahan. Jika SK itu dalam gugatan, maka menunggu putusan inkrah pengadilan. Kedua, DPR mendorong partai yang bersengketa agar islah sehingga bisa ikut Pilkada. Ketiga, kalau sampai batas waktu pendaftaran belum islah, maka yang dipakai adalah putusan pengadilan terakhir.

Dalam kasus PPP, putusan pengadilan terakhir adalah PTUN yang membatalkan SK MenkumHAM. Saat ini putusan PTUN itu dalam proses banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN). Maka jika sampai pendaftaran belum ada putusan banding, kubu Djan Faridz yang berhak ikut Pilkada. Kemudian SK MenkumHAM dalam kepengurusan Golkar masih dalam proses sidang DI PTUN, dimana telah terbit putusan sela yang menunda berlakunya SK MenkukHAM kepada Golkar Agung. Jika merujuk pada rekomendasi DPR ini maka Golkar Ical yang berhak ikut Pilkada. Rekomendasi akal-akalan DPR ini menuai protes publik dan partai-partai KIH. Selain rekomendasi ini melabrak Undang-undang Pilkada yang dibuat sendiri oleh DPR,  juga bisa membuat suasana politik kacau  dan menyesatkan bila putusan pengadilan terkahir berbeda dengan putusan banding di Pengadilan Tinggi ataupun di Mahkamah Agung. Dan tentu saja rekomendasi DPR ini sarat dengan kepentingan politis Golkar Ical, Gerinda dan sekali lagi PKS.

Melihat gelagat tak sedap ini, KPU bersama pemerintah sepakat menolak rekomendasi DPR dengan alasan rasional bertentangan dengan undang-undang. Gagal membujuk KPU dengan rayuan maut setengah memaksanya, maka poros trio licik, Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Setyo Novanto melakukan langkah taktis lainnya. Mereka terus mengaumkan wacana revisi undang-undang Pilkada. Nantinya dalam revisi itu akan dimasukkan tiga butir rekomendasi yang sebagian ditolak KPU. Bila ini berhasil maka KPU tidak bisa lagi mengelak dan tentu saja PKS yang ikut nebeng dan mengekor Golkar Ical akan selamat. Namun sekali lagi di sini persoalannya. Kekuatan KMP di DPR sudah keropos dan sudah pasti akan kalah mutlak bila dilakukan voting dalam paripurna DPR. Alasannya, anggota DPR dari Partai Demokrat, PAN, sebagian besar anggota DPR  dari PPP dan Anggota DPR Golkar Agung tidak lagi bisa diharapkan dukungannya kepada maunya KMP.

Sadar bahwa revisi undang-undang Pilkada akan menemui jalan terjal, maka trio licik Fadli Zon, Fahri Hamzah dan Setyo Novanto bergerilya mengiba kepada  Presiden Jokowi agar menyetujui rencana perubahan UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dalam naluri licik strategi politik mereka, hanyalah Presiden Jokowi yang bisa meloloskan Golkar Ical dari maut. Kendatipun Golkar Ical menang di PTUN misalnya, namun tidak serta merta bisa ikut Pilkada. Bila Golkar Ical menang di PTUN, maka jelas MenkumHAM akan melakukan banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Bila demikian nasib Golkar  tambah rumit dan semakin tidak jelas. Karena itu langkah yang harus dilakukan adalah  merevisi undang-undang dengan dukungan Presdien. Perubahan undang-undang menjadi pepesan kosong bila Presiden tak berkehendak. Maka dalam konteks perubahan UU Pilkada itu peran Presiden Jokowi cukup vital.

Persoalannya semakin rumit dan pelit, karena Presiden Jokowi berasal dari Kubu KIH yang nota bene menentang revisi Undang-undang Pilkada yang baru seumur jagung itu. Presiden Jokowi yang sebelumnya sempat berseberangan dengan KIH namun kini mulai cair kembali tidak bisa dimanfaatkan Golkar Ical lagi dan DPR untuk memihak kepada mereka. Maka demi Golkar Ical dan nasib PKS, tidak ada jalan lain  bagi Fadli Zon, Fahri Hamzah, Setya Novanto selain mengemis habis kepada Presiden Jokowi agar menyetujui rencana revisi UU itu. Akankah Presiden Jokowi iba dan kasihan kepada Golkar Ical dan para pimpinan DPR itu? Mari kita tunggu reaksi Presiden Jokowi dengan hati suci dan bersih tanpa dosa.

Asaaro Lahagu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun