Oleh : Janisa D.
Udara malam mengembang menembus huntaian benang yang berbentuk. Dingin kini menyelimuti balkon. Airi Filana merasa gelisah, sedari tadi tubuhnya hanya berputar dengan pola yang tak teratur.
Getaran meja membuyarkan lamunannya. Airi melihat telepon genggamnya, teleponnya menerus bergetar. Sorot mata Airi menatap benda itu dengan nanar yang mendalam, terdapat nama Mahesa di sana.
Dengan cepat Airi menekan tombol hijau itu.
"Ar? Kata anak-anak itu nggak bener, kan?"
Kata-kata yang singkat itu mencelos ke hati Airi, entah apa yang akan dia jawab sekarang. Bukannya apa, tapi ini masalah yang rumit bagi sepasang kekasih.
Airi akan dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Airi kekeh dengan pendiriannya untuk menolak perjodohan itu. Namun, sang ayah mengancamnya, jika Airi menolak perjodohan ini maka ayahnya yang akan turun tangan dengan hubungan tak jelas anaknya. Jika ayah Airi yang turun tangan, ayahnya akan memisahkan Airi dari Mahesa. Dapat dipastikan Airi akan diasingkan ke rumah sang nenek yang berada di Papua.
Ruang sederhana yang dipenuhi dengan amarah serasa mencekam. Bahkan AC pun tak terasa dingin. Perdebatan dan pertengkaran menjadi lebih sengit sekarang.Â
"Airi!"
"Pa, Airi nggak mau."