Oleh : Sauki Nursyam
Subuh itu terdengar suara derap kaki kuda dari kejauhan, debu-debu yang beterbangan mengisyaratkan betapa kencang dan bertenaganya kuda-kuda yang sedang berlari tersebut, saat mendekat, amat jelas terdengar dengusan dari hidungnya, suara dengusan yang tak kalah keras dari derap langkahnya.
Tak bisa disangkal lagi, kuda-kuda tersebut pasti sejenis kuda perang, atau setidaknya bekas kuda yang pernah digunakan untuk berperang. Pertemuan ladam-ladam di kukunya dengan batu kerikil mengakibatkan percikan api, mempertegas kekuatannya, tak bisa dibayangkan, betapa ganas dan beringasnya seekor kuda di kala berperang, menyerbu ke tengah-tengah kumpulan musuh, tentu akan menciutkan nyali, jauh sebelum mereka benar-benar berperang.
Setelah kuda tersebut berlalu, terlihat sesosok tubuh termenung, tubuh manusia, yang hina karena dicipta dari tanah, tapi ia tak mengakuinya, terbukti dari betapa jarangnya ia mencium asal mula kejadiannya sendiri di tempat sujud. Ia merasa berkuasa, seolah joki di punggung kuda.
Ia tak sadar, kedigdayan seekor kuda bukanlah perbandingan yang tepat jika disandingkan dengan keangkuhan dirinya, kuda punya semua kapasitas untuk disombongkan, sedangkan ia, makhluk tulang berbalut daging itu, adalah makhluk yang tak tahu terima kasih, kerap merasa inferior, sombong, takabbur dan semua istilah-istilah lain yang menggambarkan ketidaktahuan diri.
Bagaimana tidak, ketika dulu ia memulai perjalanan ini, ia tidak ada membawa sesuatu apapun, dan bahkan sampai mendekati tujuan perjalanannya, ia hanya akan menyisakan beberapa helai kain putih, entah  mengapa ia lupa diri, hinalah segala kelakukannya selama perjalanan itu, kerap menghamba harta tahta dan wanita, demi kecintaan terhadap materi.
Bahkan seringkali Ia melupakan bahwa apapun yang dimiliki akan dipertanggungjawabkan kelak, di hari semua isi dada dan pikiran manusia dibukakan oleh pemilik-Nya, tanpa terkecuali, pada hari itu juga terang benderanglah antara kebaikan dan keburukan, antara hak dan Bathil.
Di tempat lain, terdengar pertengkaran dua orang lelaki yang bersaudara, pertengkaran akibat dari perebutan mereka terhadap seorang wanita, kecemburuan sang kakak terhadap adik sebagai lelaki terpilih untuk menikahi perempuan yang mereka perebutkan, memantik sisi kejam sang kakak yang terdalam, sampai pada akhirnya sang adik terbunuh oleh kakaknya itu.
Sang adik sama sekali tidak melawan saat sang kakak hendak mengakhiri nyawanya. Tak lama kemudian, datanglah seekor gagak. Gagak tersebut membawa seekor gagak lain yang juga tak bernyawa, dengan paruhnya ia menggali-gali tanah, sampai tercipta sebuah lobang, dengan kakinya ia dorong gagak mati tadi, dan kemudian menimbunnya.
Melihat ini, mesti si kakak terhina, karena ia diajarkan oleh seekor binatang seperti gagak "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, dan menguburkan mayat saudaraku ini," katanya dengan penuh penyesalan, lalu jasad adiknya kemudian ia kuburkan.
Sementara itu, seorang lelaki, baru saja menaiki sebuah kapal, berstatus sebagai sorang pelarian ia meninggalkan desanya, desa yang dihuni masyarakat Nainawa, daerah di pinggiran sungai Tigris di Irak zaman dulu. Berlayar merupakan langkah pertama pelariannya dari olok-olokan sahabat dan masyarakat kampungnya sendiri.