Islam membuka pintu selebar-lebarnya untuk pernikahan dan menutup rapat-rapat pintu perzinahan bahkan mengganjar pelakunya dengan keras. Menikah merupakan solusi terbaik bagi dua insan yang sedang jatuh cinta, karena Allah menumbuhkan cinta yang bertanggung jawab bukan cinta yang hanya bualan dan gombalan lalu tiada kepastian di dalamnya yang ada hanya maksiat belaka.
Pola pikir remaja zaman now yang sudah terdoktrin westernisasi dalam segala hal menjadikan pernikahan sebagai momok yang menakutkan dan lebih memilih solusi untuk berpacaran. Menjadikan pernikahan sebuah hal yang menakutkan dengan slogan mapan, tanggung jawab, pekerjaan tetap dan lulus sekolah. Memang, semua slogan itu benar dan harus dipenuhi tapi bukan berarti jika belum tercapai semua maka pernikahan akan goncang.
Karena tekanan yang semakin membara dari dalam jiwa mereka anak muda, menjadikan pacaran sebagai ajang untuk testing atau coba-coba yang kebanyakan pahit di akhirnya, menjadikan kesucian seorang wanita layaknya sepatu yang diperjualbelikan di pinggir jalan, bisa dicoba sesuka hati dan jika tak sesuai akan ditinggal.
Cinta yang suci hanya ditunjukkan dengan itikad baik sebuah pernikahan, bukan dengan pacaran. Cinta yang suci akan ditunjukan oleh orang yang mengaku jatuh cinta dengan menjaga kesucian cinta dari maksiat kepada Allah. Tentang rasa, Allah lah sang Maha Pemberi Cinta. Cinta tak mengenal logika dan rumus apalagi perhitungan weton dan tanggal lahir. Tapi apakah menikah itu harus mencintai dahulu ?
Inilah gembar-gembor barat untuk menjadikan generasi muslim lebih barat dari pada orang barat, yaitu menikah harus mencintai pasangan terlebih dulu dan harus menguntungkan dalam materi. Miris, layaknya menikah menjadi sebuah transaksional tanpa tujuan akhirat. Mayoritas remaja berpikiran bahwa menikah harus mencintai dulu, mencoba berkenalan, dating, berpelukan, ciuman bahkan berhubungan seks dengannya, lalu jika merasa tidak cocok akan putus ditinggalkan dan mencari pengganti. Naudzubillah.
Apakah harga diri seorang manusia begitu rendahnya di depan alasan cinta ? , atau dengan embel-embel kasih dan sayang ?. Jika kita analogi-kan dengan proses membeli sebuah mobil dengan masa test drive selama lima bulan, lalu jika tidak puas dan cocok maka mobil akan dikembalikan ke dealer. Mungkinkah dalam sebuah akad jual beli seperti ini ?. Rasanya sangat lah tidak mungkin. Ini menggambarkan bahwa teori berpacaran adalah teori yang salah.
Bukankah jika kita membeli sebuah barang tentu lebih beradab jika kita bertanya tentang testimoni sebuah barang kepada para pembeli yang lain, lalu setelah menentukan pilihan kita lakukan testing secara wajar dan jelas, dan langsung kita putuskan antara membeli atau tidak. Jikalau membeli sebuah barang ada adabnya, bagaimana dengan manusia dan hati ? tentu lebih layak dihargai dan dihormati serta memperhatikan adab.
Miris dan sedih bagi remaja zaman ini yang mengatakan bahwa pacaran bukti cinta dan kasih sayang, tanpa cinta maka hidup ini kering bagai padang pasir di musim panas. Maka kita tegaskan bahwa pacaran bukanlah bentuk cinta, hanya nafsu belaka yang dibalut dengan kalimat suci cinta yang ternyata sangat merusak kesuciannya.Â
Jadi, pacaran atau tinggalkan ?
Tinggalkan !! Â Persiapkan dirimu, bukan cinta suci jika kau memiliki tanpa ikatan suci, bukan cinta suci jika kau tak tau cara menghargai hati dan diri, Menikahlah ! menikah tak sesulit membalikkan telapak kaki. An
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H