Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata diskriminasi diartikan sebagai perlakuan yang berbeda berdasarkan karakteristik individu. Karakteristik ini antara lain berdasar pada ras, kedudukan sosial, dan kelamin. Kalau untuk saya, saya menyederhanakan definisi diskriminasi  ini dengan pengambilan sikap berdasarkan perasaan SUKA dan TIDAK SUKA. Karena buat saya, bersikap diskriminatif berdasarkan suka dan tidak suka, sama hukum dan konteksnya dengan mengambil keputusan dengan emosi. Which it is forbidden and mostly regretful. Karena itulah, keputusan dan sikap dalam memperlakukan orang lain khususnya di depan hukum dan peraturan tertulis seharusnya didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, dan rasa hormat terhadap kemanusiaan dan menghindarkan diri dari sentiment negative apapun.
Dasar pemikiran itu yang akan  saya gunakan untuk memandang kebijakan kampus UIN yang hendak melarang penggunaan cadar di kampus. Personally, saya kurang suka dengan penggunaan cadar di Indonesia. I don't really see the urgency. Saya tak terlalu melihat apa urgensinya; Apa pentingnya dan apa manfaatnya. Menghindarkan diri dari gairah seksual laki-laki? May be. Walaupun, kalau memang ini alasanya, di saat yang sama sayapun akan mengelus dada; apa memang sebegitu parahnya gairah seksual para kaum Adam ini sampai-sampai menutup seluruh badan selain wajah dan telapak tanganpun tak cukup.Â
Perlukah untuk merukyah diri kalian segera?! Terus mandi pakai bunga tujuh rupa di laut kidul biar jin jin cabul yang bersemayam di hipotalamaus dan lobus frontalis otak kalian tidak terus terusan bikin testosterone kalian tak terkontrol! Kalau perlu, mandinya di tengah laut, biar ga cuma jin jinya yang pada kabur, sekalian orangnya pun hanyut. Dalam kasus mereka yang tak bisa menahan gairah seksual melihat wanita-wanita terhormat? Mungkin itu best advice dari saya.
Kalau alasanya adalah alasan historis bahwa dulu cadar adalah simbol pembeda mana budak mana bukan, well simbol ini apa masih relevan untuk zaman sekarang? Kalaulah memang masih ada perbudakan, ya harus dibebaskan segera. Ko malah mau dilanggengkan prakteknya dan didiskriminasi dengan cadar. Nah, kalau dasarnya nas nas tekstual, saya mundur saja. Saya ini cuma remahan rengginang di kaleng Khong Guan dalam hal itu. Konon, ada belasan ilmu yang harus dikuasai seseorang untuk bisa menafsirkan Al-quran dan Hadist. Lah saya, belajar Nahwu Shorof aja malah bikin ustadz saya darah tinggi. Jadi saya lebih baik menghindarkan diri dari membicarkan itu.
Sekali lagi saya bilang, saya masih kurang SUKA melihat para wanita wanita Indonesia tercadari. Saya masih percaya, kita wanita Indonesia masih sangat bisa behave ourselves, bisa membawa diri dalam bertutur dan bertindak dengan sopan dan santun, dan... cerdas! Cerdas bergaul, cerdas membaca situasi, cerdas beradaptasi diri, dan cerdas menanggapi gangguan lawan jenis.
But then...apa dengan perasaan saya itu saya boleh memaksakan kehendak saya untuk tidak membolehkan mereka melakukan apa yang mereka yakini? Saya masih meyakini, saya tak boleh melakukan itu. Buat para pengguna cadar, ya itu bagian dari keyakinan agama yang mereka yakini. Siapa kah di dunia ini yang punya hak untuk mengintervensi keyakinan keagamaan seseorang? Hemat saya, tak ada, even itu orang tua sendiri. Toh, bercadar tak membuat orang lain tersakiti dan celaka. Toh tubuh yang mereka tutupi adalah tubuh mereka sendiri. Toh mereka bersikap baik selama di kampus, mengikuti semua aturan kampus, dan bisa jadi, mereka berprestasi. Lalu apa salahnya?
Sekarang, sudah bukan zamanya melihat seseorang dari penampilan dan label seseorang. Dulu, saat saya kuliah di luar, beberapa staf uni adalah LGBT, tetapi dalam menjalankan tugasnya, mereka sangat professional dan helpful banget. Mereka terlihat melayani dengan penuh dedikasi. Selalu mencarikan solusi dari permasalahan-permasalahan perkampusan yang dihadapi. Ada lagi, beberapa staf yang berpenampilan sangat nyentrik. Mereka bertato, bertindik, rambut dicat warna warni, dengan model baju yang agak ngepunk.Â
Tapi, subhanallah baiknya...contohnya, saat itu saya sedang menunggui sesi workshop, seorang wanita nyentrik dengan penampilan yang saya gambarkan tadi mempersilahkan saya untuk duduk di sofa dalam ruangan, dan saya diberikan beberapa majalah untuk teman menunggu. Dia meminta saya untuk bertanya apapun kalau ada yang ingin saya ketahui tentang workshop-workshop universitas. Dia tidak membedakan siapapun dalam bersikap, walaupun saya seorang Asia yang berjilbab dan saya berada di Negara yang mayoritas non ditambah dengan gempuran isu terorisme dan islamophobia.
Saya melihat wanita bercadar ya sama seperti saya melihat mereka. Saya melihat orang-orang dengan keyakinan dan pandangan hidup yang mungkin masih asing bagi saya. Tapi itu hak mereka untuk memilih jalan dan gaya hidup yang sesuai dengan diri mereka sendiri. Apalah saya sehingga saya harus menjudge bahwa satu gaya hidup itu lebih baik dari gaya hidup yang lain la wong yang njalanin ya mereka sendiri kok. Â
Selama ada jiwa kemanusiaan pada diri setiap orang, selama ada keinginan untuk mau hidup berdampingan dengan baik, selama bisa mau menghargai orang lain, buat saya, tak jadi masalah. Hell ya, bisa jadi mereka jauh lebih baik dari saya sebagai seornag manusia. Kalau sebagai hamba Tuhan, apa signifikansinya dibahas. Enggak ada. Itu urusan masing --masing dengan Tuhanya masing-masing.Â
Cuman...memang tak bisa dipungkiri...saat seseorang tak bisa terlihat wajahnya, sedangkan wajah adalah detector termudah antara satu orang dengan orang lain, ya ini agak pelik. Khususnya di area kampus. Contoh kecil deh, kenapa kartu pelajar kita bisa diterima saat mau naik kereta sedangkan Kartu Kelurga tidak? Ya karena yang satu ada fotonya dan yang satunya tidak. Sehingga si pemeriksa bisa mencocokan bahwa orang yang tertera di kartu dan yang megang adalah orang yang sama. Betul?