Untuk kesekian kalinya, pertemuan saya dengan ‘yang lain’, yaitu mereka yang seringkali dianggap sebagai bukan bagian dari umat muslim oleh beberapa kalangan, toh menurut saya justru sebaliknya.
Dari masjid ini saya justru belajar tentang keterbukaan. Kebaikan menerima dan melayani jama’ah lintas aliran dan kepercayaan. Saya ingat ketika Mudatsir bercerita panjang lebar tentang sholat Jum’at yang biasanya jama’ah paling banyak justru orang-orang Arab dan Turki. Tentu, mereka ini bukanlah penganut Ahmadiyah Lahore. Juga, perempuan-perempuan Muslim yang terlihat beberapa kali mengikuti sholat Jum’at.
Dari masjid ini pula, saya belajar tentang betapa solidnya hubungan sesama penganut Ahmadiyah, juga sistem kepengurusan yang saya kira cukup baik. Kami, bahkan sempat berfikir, andai saja, organisasi masyarakat Indonesia semisal NU atau Muhammadiyah, yang mempunyai akar kuat di tanah air dan memiliki pengikut yang jumlahnya ribuan, mulai berpikir untuk go international. Â Tentu ini adalah hal baik. Paling tidak, untuk meramaikan corak keberagamaan, sekaligus sebagai alternatif bagi umat muslim di dunia yang masih sibuk mencari role model ber-Islam secara santun dan ramah. Namun, hal ini, tentu, dan mungkin saja bisa terjadi asalkan organisasi masyarakat tersebut tidak melulu disibukkan dengan isu-isu politik tanah air (?)
*Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H