Pewajaran terhadap laki-laki sebagai oknum kejahatan seksual kepada perempuan merupakan cikal bakal dari terciptanya dan mendarah dagingnya sebuah tradisi patriarki dalam satu negara. Sebab sesuatu tidaklah terjadi dengan serta merta, melainkan pasti melewati proses panjang yang sifatnya berkelanjutan. Â Pembiaran-pembiaran kecil berupa penilaian ataupun pemikiran yang menganggap kasus pelecehan seksual ialah hal sepele merupakan bagian awal dari proses berkelanjutan tersebut. Belum lagi stigma masyarakat yang sudah ada mengenai pelabelan korban kekerasan seksual sebagai akar permasalahan, acapkali seorang perempuan yang statusnya korban dalam kasus kekerasan seksual dijadikan sebab dari pelanggaran yang terjadi. Oleh karena itu, bermacam-macam alasan secara otomatis timbul dan seolah menjadi sebuah pembelaan bagi pelaku kekerasan seksual tersebut. Tradisi patriarki semakin langgeng dan sulit dituntaskan.
Patriarki sendiri ialah suatu konsep yang melekat pada tatanan masyarakat dimana keperluan, kepentingan, dan segala hal yang menyangkut seorang laki-laki diletakkan pada pusat atau dengan kata lain lebih diutamakan. Dengan kasus kecil sebagai contoh, di dalam keluarga seorang anak akan mewarisi  marga dari ayah dan bukan dari ibunya, seorang ayah/suami memiliki kendali atas istri dan anak-anaknya, pemimpin suatu perusahan dinilai unggul secara material apabila ia laki-laki, atau kepemimpinan-kepemimpinan lain yang mayoritas posisinya terisi oleh laki-laki, dan berbagai kasus lainnya. Bahkan laki-laki terlihat seolah memiliki dan memegang kuasa atas perempuan, hal tersebut dapat terjadi dalam beberapa kasus yang dapat dikategorikan parah (ekstrim).
Peran JurnalismeÂ
Peran jurnalisme dalam hal ini juga perlu dipertanyakan. Sering kali dijumpai jurnalis yang menyajikan liputan berita dengan pemimpin perempuan yang bermasalah (problematic) sebagai topik yang diangkat terus-menerus, seolah dimaksudkan memberi sorotan lebih terhadap fenomena tersebut. Sementara liputan berita mengenai pemimpin perempuan yang berprestasi dan berhasil menjalankan kewajiban yang ditanggungnya terkesan diliput dengan sekilas dan cepat terbawa arus. Hal tersebut diasumsikan memang sengaja dilakukan untuk menitikkan fokus dan menanamkan ideologi kepada masyarakat bahwa perempuan tidak layak diamanahkan sebuah jabatan. Sikap jurnalis sebagaimana tersebut di atas semakin memperkeruh problematika perempuan sebagai pemegang kekuasaan.
Prinsip MasyarakatÂ
Perempuan dalam lingkungan yang tersusun dengan prinsip sistem patriarki akan selalu menjadi pelaku meskipun seharusnya ia berada pada posisi sebagai korban. Pada kenyataannya, penyelesaian dengan cara kekeluargaan dijadikan sebagai solusi akhir dan dianggap paling solutif bagi korban. Hal tersebut menyebabkan turunnya rasa percaya dari perempuan kepada masyarakat sekelilingnya. Diam dan ikhlas menerima seakan menjadi sebuah keharusan atau kewajiban yang harus diemban perempuan. Pembiaraan-pembiaran dari perlakuan masyarakat terhadap korban dapat menciptakan sistem diskriminasi, sistem tersebut merupakan dampak utama yang timbul akibat sistem patriarki.
Sikap Aparat Negara dan Sistem Hukum Negara
Sikap aparat negara terhadap kasus-kasus yang memposisikan perempuan sebagai korban juga dirasa kurang membantu. Penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya masih dinilai bias gender, serta sistem yang dipergunakan dalam menangani sebuah kasus sering berpengaruh negatif pada mental korban. Sistem hukum negara yang terkesan lamban juga menjadi salah satu faktor tidak tuntasnya peradilan kasus-kasus tersebut. Bahkan dalam beberapa perkara, masyarakat harus menggiring dan mengekspos sebuah kasus agar mendapatkan peradilan yang setimpal dan selayaknya diberikan. Aparat negara seperti tutup mata dalam menjalankan profesinya, bersifat pasif dan menunggu disajikan kasus-kasus di depan mata agar mulai bekerja. Sehingga sikap aparat dan sistem hukum negara berkolaborasi dalam menciptakan keadaan yang kurang mampu memecahkan persoalan-persoalan. Hal ini dapat dibuktikan dengan peningkatan kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang signifikan. Tercatat oleh Komnas Perempuan, kasus pelecehan dan kekerasan seksual sejumlah 4.475 (pada tahun 2014) dan mengalami kenaikan menjadi sejumlah 6.499 kasus (pada tahun 2015). Kasus tersebut terus mengalami kenaikan hingga pada tahun 2016, catatan atas kasus tersebut sejumlah 5.785 kasus.
Bukan tidak mungkin, hanya saja sistem patriarki yang sudah tertanam dalam suatu negara terkesan sukar dilenyapkan. Diperlukan keselarasan dari setiap elemen yang terkait demi menunjang tercapainya hal tersebut. Peran dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, jurnalis, aparat kepolisian, hingga masyarakat diperlukan dalam praktiknya. Kita diharapkan bersama-sama mengerucutkan fokus pada solusi dalam menangani permasalahan sistem patriarki, bukan malah mengadakan peradilan untuk membandingkan antara satu pihak dengan pihak lainnya dengan tujuan menemukan pihak yang dapat disalahkan. Kita harus menitikberatkan bahasan pada upaya dan langkah-langkah yang dapat kita jalankan untuk mengurangi implementasi sistem patriarki. Kita dituntut mampu menciptakan mekanisme yang menaungi dan responsive terhadap korban-korban sistem patriarki, sebab menuntaskan patriarki sama halnya dengan mencapai tujuan negara kita yang tertuang dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yakni mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H