Ia bernama Nurdin Razak. Ia seorang dosen ekowisata di Universitas Airlangga, Surabaya. Namun, ia tak puas hanya berdiri di depan mahasiswa, semata mengajar. Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni mengajar, meneliti, dan mengabdi pada masyarakat adalah hal yang ia junjung tinggi. Ia bahkan sempat menjabat Ketua Program Studi D3 Pariwisata Unair. Spesialisasinya di bidang ekoturisme pun melahirkan karya-karya penelitian. Namun, kekecewaan dengan regulasi dan kinerja para dosen di kampus, membuatnya menolak tawaran S-3 di Universitas Brawijaya atau Leeds University, UK.
"Buat apa?" ungkapnya retoris.
Ia pun kerap mengkritik institusi tempatnya mengajar. Namun, kritikannya belum mampu menggerakkan para dosen dan pejabat kampus untuk berubah ke arah yang lebih baik. Orang-orang kampus yang tidak fair dan sportif membuatnya muak. Banyaknya dosen yang cari aman, tidak berani bersuara, membuatnya geram. Prestasinya dengan membawa 19 mahasiswa program studi D3 Pariwisata Unair magang di Shangri-La's Barr Al Jissah Resort & Spa, Oman, pun tidak membuat pihak kampus bangga. Bahkan, ia ke sana sendirian, dibiayai oleh orangtua para mahasiswa, untuk mengecek kondisi mereka. Sementara, tak ada sedikit pun dana dari kampus. Malahan, bukannya diberi izin kerja, kampus justru mengeluarkan surat cuti padanya. Ia kecewa.
Jaringan yang ia miliki di luar kampus, benar-benar ia manfaatkan untuk membawa program studi yang ia bawahi ke arah yang lebih baik. Setelah kerja sama dengan Shangri-La Oman, kerja sama dengan pihak Malaysia pun tercapai. Namun, sayang sekali, petinggi kampus tidak menyetujui. Bahkan, kerja sama dengan sebuah sekolah kuliner di Surabaya pun berakhir dengan pembatalan sepihak dari kampus yang ia wakili. Upayanya meningkatkan kompetensi mahasiswa, rupanya tak diapresiasi baik. Kecewanya kian bertambah.
Luka demi luka yang ditorehkan sesama pengajar di kampus pun ia obati dengan berkarya di luar. Ia menggemari fotografi alam liar. Sejak 2003 hingga sekarang ia mendokumentasikan berbagai satwa liar di Taman Nasional Baluran, Situbondo. Dengan motor, ia menempuh lebih dari 500 km pulang pergi Surabaya – Situbondo.
"Apa yang memberi Pak Nurdin energi?" tanya saya ketika membonceng dengan motornya, perjalanan pulang ke Surabaya. Akhirnya, saya rasakan juga bermotor sepanjang 254 km. Mata berkali-kali terpejam dan tersentak kembali. Pantat panas.
"Tidak tahu. Saya bahkan bisa tidak makan 3 sampai 4 hari."
Saya bertanya demikian karena selama berdiskusi dengannya, semangatnya demikian menyala-nyala. Bahkan, di hari pertama menginap di Baloeran Ecolodge miliknya, saya sampai susah tidur. Otak saya penuh sungguh oleh materi obrolan.
Pengalamannya mengunjungi berbagai taman nasional di Indonesia, membuat matanya kian terbuka. Taman Nasional Baluran dengan luas 25.000 Ha wilayah daratan dan 3.750 Ha wilayah perairan dijaga oleh polisi hutan yang jumlahnya masih jauh dari kata ideal. Gaji mereka pun belum mampu menyejahterakan mereka. Bagaimana mereka bekerja maksimal jika urusan perut saja belum beres? Suatu hal yang umum, kiranya, di negeri ini.
Maka, Nurdin Razak pun memberi pelatihan gratis pada para polisi hutan ini sebagai bagian sertifikasi. Sertifikatnya diberikan cuma-cuma. Sebagai konsultan ekowisata yang sesekali diajak kerja sama oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, ia tak melulu berhitung secara ekonomi. Ia tergerak membantu karena didorong rasa prihatin. Tidak hanya agar tingkat kesejahteraan para polisi hutan itu naik, tapi juga tingkat kompetensinya.
Kompetensi inilah yang jadi salah satu kepeduliannya. Ia punya cita-cita luhur agar bangsa ini menciptakan generasi yang punya kompetensi (daya saing). Kompetensi di bidang masing-masing. Nurdin Razak hendak mencontohkan dirinya. Bahwa, dengan fokus menggeluti bidang yang semakin niche, itu akan baik bagi negeri ini. Bukan semata institusi pendidikan melahirkan para sarjana yang akan menjadi budak perusahaan-perusahaan asing – karena minim kompetensi – tapi para sarjana yang punya keahlian yang berguna bagi bangsanya.