Judul: Green Card
Penulis: Dani Sirait
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal: xii + 234 Halaman
Cetakan : Pertama, Maret 2014
ISBN: 978-602-0303-11-6
Amerika telah lama jadi tanah impian banyak orang. Umumnya mereka mengharapkan penghidupan juga kehidupan yang lebih baik. Tak heran jika imigran dari Asia, Timur Tengah, juga Amerika Latin berbondong-bondong datang ke Amerika Serikat.
Saat ini, imigran asal Indonesia, baik legal maupun ilegal, ada sekitar seratus ribuan di sana. Mereka bergulat dengan manis pahitnya kehidupan di rantauan. Rafli, tokoh utama novel ini, salah satunya. Ia ke AS berkat dorongan Wilson, sahabatnya, yang lebih dulu tinggal di sana. Untuk tiba di Amerika, ia bekerja di sebuah kapal pesiar. Saat kapalnya bersandar di Miami, ia pun jump ship alias melompat ke daratan dan tidak kembali ke kapal (hal. 41). Ia memutuskan memulai petualangannya.
Tentu saja ia berstatus sebagai imigran ilegal. Namun, Wilson menguatkannya bahwa banyak imigran gelap di Amerika dan mereka aman-aman saja. Keberadaan mereka justru dibutuhkan di sektor-sektor informal yang notabene tidak mau disentuh oleh warga Amerika. “Mereka lebih baik jadi pengangguran, karena dengan status pengangguran, mereka dapat tunjangan dari pemerintahannya” (hal. 139).
Tetapi, semua berubah drastis pascaruntuhnya menara kembar World Trade Center pada 11 September 2001. Amerika meningkatkan pengamanannya. Orang asing dicurigai. Para imigran ilegal menjadi tak tenang. Jika mereka diketahui ilegal, ada kemungkinan besar ditangkap, dipenjara, lalu dideportasi. Rafli pun tak pelak was-was.
Semangat yang terus bergelora dalam dirinya untuk hidup sukses di Amerika mendorongnya untuk bisa tinggal secara legal. Syarat utamanya, ia harus memiliki kartu tanda penduduk AS, yakni Green Card. Kartu ini akan memudahkan ia untuk bekerja, membuka rekening di bank, berobat di rumah sakit, dan mendapat jaminan sosial dari pemerintah. Namun, proses mendapatkan kartu resmi ini tidaklah mudah.
Rafli pun menikah pura-pura dengan Erina, warga Indonesia yang sudah memiliki Green Card. Istri palsunya inilah yang akan menjadi sponsor bagi dirinya untuk mendapat kartu tanda penduduk AS itu. Ia memberikan jaminan pada Erina sebesar 10 ribu dolar Amerika (hal. 55). Namun, pernikahan pura-pura itu justru awal dari segala permasalahan baru yang dihadapi Rafli.
Novel ini menghadirkan ironi yang dihadapi imigran ilegal dari Indonesia. Di satu sisi mereka hidup berkecukupan, bahkan bisa menabung sekitar 10 juta per bulan. Tapi, mereka juga harus mau hidup tak tenang, dibayang-bayangi oleh para polisi yang terus sigap merazia.
Pihak Konsulat Jenderal RI di New York pun tidak mampu memberikan solusi memadai bagi para imigran ilegal ini. Maka, berbagai cara pun ditempuh untuk menyiasati hukum imigrasi di AS. Sebagaimana yang ditempuh Rafli dengan menikah pura-pura namun tak kunjung berhasil. Ia juga sempat mencoba minta bantuan pihak gereja (hal. 199-128). Ia bertanya kemungkinan untuk mengungsi ke Kanada. Tercetus pula gagasannya untuk mengajukan petisi sebagai orang dari kalangan minoritas. Bahkan, terselip juga ide untuk mengajukan suaka.
Novel ini ditulis oleh mantan Kepala Biro Kantor Berita Antara di Markas Besar PBB di New York ini. Gaya jurnalisnya kental. Detail latarnya kuat. Penulis juga menyelipkan beberapa kritik yang dilontarkan oleh tokoh-tokohnya. Semisal, kritikan Rafli atas kinerja para pejabat di Konsulat Indonesia. “... Apa gunanya ada diplomat di sini? Bukankah itu tugas para bapak dikirim ke sini?” (hal. 70).
Tidak hanya membetot perhatian lewat taburan informasinya, novel ini juga dibumbui dengan kisah percintaan juga selipan humor. Namun, penulis belum totalitas mengeksplorasi emosi karakter-karakternya.Di beberapa bagian, penggambaran aksi para tokohnya juga kurang menegangkan. Tapi, ending yang terbuka, penulis memberi kesempatan bagi pembaca untuk mengembangkan imajinasi untuk menerka kelanjutannya.
Kendati narasi besar yang diusung adalah mengenai perjuangan anak muda Indonesia di rantauan, namun novel ini tidak terjebak pada pengagungan yang berlebihan pada luar negeri. Penulis bijak untuk menyelipkan pesan bahwa rumput tetangga tak selalu lebih hijau. Perjalanan Rafli di akhir novel membuktikan hal itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H