"Ada kalanya sesuatu tumbuh lebih baik dalam gelap dibandingkan jika ia terpapar teriknya sinar matahari".
Kisah pilu Isah, anak di luar nikah seorang pembatik di lingkungan kraton Yogyakarta pada masa kolonial abad ke-19, memilih kabur menjadi nyai perwira londo dengan angan hidupnya lebih baik. Tapi...
Menceritakan masa kecil Isah, yang sehari-hari bermain di keraton bersama temannya dua kakak-beradik putri seorang selir; menginjak usia belasan Isah mulai belajar membantu ibunya membatik; memutuskan kabur untuk mencari kehidupan yang dianggapnya bebas tidak mengekang penuh aturan seperti di keraton saat ibunya hendak menjodohkannya; menjadi nyai seorang perwira dan mengurus rumah tangga serta memiliki dua orang putri (diluar nikah juga) yang tentu kulitnya lebih putih darinya.
Sebagai nyai, Isah melalui hari-harinya mengatur urusan rumah tangga dari urusan dapur hingga keuangan, memakai kebaya putih dan kain batik dengan motif dan warna yang lebih terang (modern), juga menggunakan selop atau sepatu, berbeda sekali dengan pribumi pada umumnya tanpa alas kaki.
Babak baru kehidupan Isah berganti lagi, ketika tiba saatnya Gay, tuan sekaligus bapak dari kedua putri Isah memutuskan kembali ke Belanda untuk menikahi kekasihnya.
Setelah itu, dimana Isah tinggal?
Bagaimana nasib kedua puterinya?
Apa saja yang terjadi setelahnya?
Buku ini mulanya ditulis dalam Bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Terjemahannya baik, mudah dipahami, dan tidak membingungkan. Isi cerita dalam setiap bab tidak terlalu banyak. Alurnya maju dan jelas, bisa dilahap dalam sehari saja.Â
Menarik sekali belajar masa lalu negeri ini melalui novel fiksi dengan latar belakang sejarah. Saya yakin, pasti banyak Isah-Isah (nyai) yang bernasib sama atau bahkan lebih sengsara pada masanya. Karakter Isah yang berani, mencoba hal baru dengan penuh resiko, gigih belajar budaya lain, menunjukkan kekuatan seorang perempuan bernyali besar.Â