" kau tahu kan ta' aku memang ingin sepertimu, dan kau ingin sepertiku , kau dan aku punya rencana yang sama kerja sambil kuliah tapi ku pikir kau tak perlu bekerja untuk bisa kuliah, kau tak perlu terus mengikutiku menacri lowongan pekerjaan hanya untuk bisa kuliah, kau tak perlu melakukan semua itu , sedangkan aku.............. harus masih melakukannya sendiri " ucapku datar, aku tak ingin menangisi perbedaan itu, aku tak ingin menyesalkan keberuntungan Anita
" tapi setidaknya kau tak harus mengikuti keinginan orangtuamu untuk kuliah di universitas yang tak kau inginkan" bisik Anita
" orangtua......?" aku tersenyum sinis... ada getir di sudut senyum itu...
" maaf...maksudnya kau punya Ayah yang tak harus benar- benar memperdulikan keadaanmu yang sesungguhnya  , dari pada memliki seorang mamah pelacur yang sibuk dengan jampi- jampi dukun untuk membungkam  suami mudanya tapi sok perhatian dengan masa depan anaknya  "sampai disini Anita Menangis, bagaimanapun mungkin menurutnya hidupnyalah yang paling menderita memiliki seorang ibu pelacur yang menikah dengan seorang pejabat tapi tak punya otak ataupun hati selain mirip dengan robot suruhan mamahnya dan sebagai pohon uang , Anita memang selalu menangis untuk kehidupannya tanpa pernah tahu perasaanku, aku yang tak pernah mengenal ibuku, aku yang memiliki seorang ayah yang tak perduli sedikitpun tentang ku,  dan untuk sampai saat ini aku masih mampu meminjamkan bahuku untuk tempatnya menangis entah yang keberapa .Itu terakhir kalinya dia terlihat  begitu lemah sekaligus rapuh untuk terus menangisi kehidupannya .
***
Ini sudah hampir tiga tahun dari terakhir kita berpelukan dipinggir jalan depan universitasmu, mungkin saja kau sudah lulus dan hampir di wisuda, kau tak lagi mengabarkan apapun tentangmu kepadaku,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H