Dalam hal ini, kebijakan hukum terhadap PNS yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi sangat penting untuk menjaga integritas aparatur negara dan memastikan bahwa mereka tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Pegawai negeri sipil sebagai aparatur negara harus menjadi contoh dalam hal kepatuhan terhadap hukum, dan ketika mereka melanggar hukum, maka mereka harus mendapatkan hukuman yang setimpal.
Dalam perkara yang tercermin dalam Putusan PN Medan No. 73/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Mdn, terdakwa Juliansyah sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi mendapat hukuman yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Keputusan hakim untuk menjatuhkan hukuman penjara selama satu tahun serta denda sebesar Rp. 50.000.000,00 mencerminkan penerapan kebijakan hukum yang adil. Meskipun terdakwa adalah seorang Pegawai Negeri Sipil, hukum tetap diterapkan tanpa pandang bulu. Hal ini mengirimkan pesan yang jelas bahwa tidak ada pengecualian bagi siapa pun yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Penerapan kebijakan hukum yang adil terhadap Pegawai Negeri Sipil yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi juga diatur dalam berbagai peraturan, termasuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, terdapat juga kebijakan dari pemerintah yang mengatur pemberhentian dengan tidak hormat bagi Pegawai Negeri Sipil yang terbukti terlibat dalam tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 180/6867/SJ Tahun 2018 mengatur tentang penegakan hukum terhadap Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan tindak pidana korupsi, yang memberikan dasar hukum untuk pemberhentian PNS yang terlibat korupsi.
Dengan demikian, penerapan kebijakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan Pegawai Negeri Sipil, seperti yang terjadi dalam kasus Juliansyah, menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia berkomitmen untuk menegakkan keadilan dan tidak membeda-bedakan status sosial atau profesi seseorang di hadapan hukum. Hukuman yang diberikan kepada terdakwa harus memiliki efek jera bagi pelaku tindak pidana korupsi lainnya, sekaligus memberikan pesan kepada masyarakat bahwa tindak pidana korupsi tidak akan dibiarkan tanpa sanksi yang tegas.
Kesimpulan
Kasus korupsi yang marak terjadi, terutama yang melibatkan pegawai negeri sipil (PNS), dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan teoritis dari Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Pendekatan Klitgaard menyatakan bahwa korupsi terjadi ketika ada tiga faktor yang berinteraksi: monopoli, diskresi, dan akuntabilitas. Monopoli mengacu pada konsentrasi kekuasaan yang diberikan kepada individu atau kelompok tertentu, sementara diskresi berarti kebebasan yang terlalu besar dalam mengambil keputusan tanpa pengawasan yang memadai. Akuntabilitas, yang berarti kurangnya transparansi dan tanggung jawab dalam proses pengambilan keputusan, menjadi faktor penting yang mendorong terjadinya korupsi. Dalam konteks Indonesia, terutama di kalangan PNS, sering kali terdapat celah di mana individu atau kelompok tertentu memiliki monopoli atas sumber daya negara dan memiliki kebebasan besar dalam mengambil keputusan. Kurangnya pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pengelolaan kekuasaan memperburuk situasi ini, sehingga memberikan peluang besar bagi terjadinya penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Sementara itu, Jack Bologna menekankan bahwa korupsi juga dipengaruhi oleh faktor struktural dan budaya. Menurutnya, korupsi sering kali berakar pada budaya organisasi atau negara yang memfasilitasi praktik-praktik koruptif, serta sistem hukum yang lemah. Di Indonesia, budaya yang terkadang lebih menekankan loyalitas atau hubungan personal dibandingkan dengan prinsip keadilan dan integritas, turut mendorong terjadinya korupsi. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan celah dalam sistem yang ada membuat korupsi terus berkembang, terutama di kalangan PNS yang memiliki akses besar terhadap sumber daya negara. Praktik-praktik koruptif ini sering kali dianggap sebagai hal yang wajar atau bahkan diperlukan dalam menjalankan tugas di birokrasi.
Keterkaitan kedua pendekatan ini mengungkapkan bahwa korupsi bukan hanya persoalan individu yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga sebuah fenomena yang bersifat sistemik. Faktor struktural, budaya, dan kelemahan dalam pengawasan menjadi penyebab utama mengapa korupsi terus berlanjut. Untuk memberantas korupsi, diperlukan perubahan yang mendalam dalam sistem pemerintahan, baik itu melalui peningkatan transparansi, pengawasan yang lebih ketat, maupun perubahan budaya organisasi yang mendukung integritas dan akuntabilitas. Tanpa perbaikan di berbagai aspek ini, upaya pemberantasan korupsi akan selalu menghadapi hambatan yang serius.
Daftar pustaka
Harefa, N. S. K., Manik, G. K., Marpaung, I. K. Y., & Batubara, S. A. (2020). Dasar Pertimbangan Hakim terhadap Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS): Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 73/Pid. Sus-TPK/2018/PN. Mdn. SIGn Jurnal Hukum, 2(1), 30-42.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H