120. Nur Laelasari
Ibu.
Terima kasih. Atas kasih sayangmu selama ini. Aku meragukan hidupku, bila tanpa dirimu. Sungguh tidak terbayangkan apa jadinya bila selama ini aku tidak bersama denganmu ibu. Apakah aku bisa? Aku ingin menjadi pahlawan dunia seperti dirimu. Yang mampu menaklukan segala keras kepalaku, dan menyulapnya menjadi kebahagiaan.
Ibu.
Maafkan aku. Yang selalu mengeluh dengan sedikit pekerjaan rumah yang engkau berikan padaku. Padahal itu hanya seper sekian dari segala hal berat yang telah engkau lalui selama ini. Aku yang merengek meminta segala sesuatu yang kuinginkan, dengan segala perjuangan engkau memberikannya. Adakalanya engkau tidak bisa dengan sebuah alasan. Tapi aku tidak peduli, aku terus menangis. Aku terus menerus mendiamkanmu.
Ibu.
Maafkan aku. Aku terlambat menyadari segala sesuatu tentangmu. Engkau sedikit pun tidak pernah marah. Aku ingin melihat setiap ruang di hatimu. Apa sebenarnya yang ada di dalamnya.
Ibu.
Aku sangat yakin aku menangis pada saat malam karena semua terlihat gelap. Kemudian dengan sebuah cahaya di tanganmu, engkau mendekatiku. Mengusap setiap helai rambutku. Menggendongku dengan senang hati. Bahkan setelah seharian aku menyusahkanmu. Engkau tidak peduli pada apapun. Engkau hanya ingin aku bahagia.
Ibu.
Terima kasih. Apakah aku bisa menjadi seperti dirimu? Menjadi penunjuk arah yang kokoh menuju kebahagiaan. Meskipun terkadang aku menentang, engkau senantiasa meluruskanku. Menjauhkanku dari jalan yang salah. Menuntunku perlahan menuju jalan yang seharusnya aku lalui. Engkau tersenyum menatapku menapaki setiap jengkal jalan kehidupan. Bahkan ketika aku terlalu memandang lurus ke depan tanpa mempedulikan jalan. Engkau akan kembali dengan petuah bijakmu.
Ibu.
Aku menanyakan hal lugu padamu. “Ibu aku ingin melihat segala hal yang berada dalam hati dan pikiranmu?” Engkau tersenyum mendengar pertanyaanku lalu memeluk tubuhku dengan erat. Aku bisa merasakan setiap kehangatan yang engkau ciptakan. Aku bisa merasakan kasih cintamu yang setiap hari tidak berkurang. Sedikit pun tidak berkurang, sama sekali tidak. Dan setiap harinya kehangatan itu kian membesar. Melebihi hari kemarin.
Ibu.
Aku ingin memelukmu lagi seperti saat kecil dahulu. Aku ingin kembali saat bahagia dulu. Maafkan aku, ibu. Maafkan aku. Sekali lagi maafkan aku yang sering melupakan tentangmu. Maafkan aku yang sering tidak mendengarkan nasehatmu.
Ibu.
Maafkan aku yang terkadang dengan tidak sengaja membuat hatimu kecewa. Membuat hatimu menangis. Membuatmu seolah-olah bukan apa-apa.
Ibu.
Maafkan aku. Maafkan atas segala kesalahanku padamu. Maafkan tangis yang telah kubuat selama ini. Maafkan aku yang membuatmu merasa gagal mendidikku. Maaf. Maafkan aku ibu. Sungguh, ketika aku mengingat segala kesalahanku padamu. Aku semakin merasa seperti pecundang. Aku yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku yang sering melupakanmu.
Ibu.
Jika bisa aku ingin menuliskan segala kisah tentangmu. Kisah tentang kasih sayangmu. Kisah tentang ketabahanmu. Kisah tentang kehangatanmu. Kisah tentangmu ketika pertama kali melihatku terlahir ke dunia ini. Kisah tentang semua kisah yang sangat memiliki makna di setiap kata di dalamnya.
Ibu.
Aku pikir memberi tahu kabarku padamu, akan lebih baik jikalau aku sudah benar-benar sukses. Aku salah. aku tidak boleh seperti itu. Dan ketika ada kata ibu, aku selalu berharap akan langsung bertemu denganmu. Memelukmu, kemudian meminta maaf atas semua kesalahanku padamu.
Pada kenyataannya aku tidak bisa memelukmu ketika bertemu. Dengan alasan aku lelah, aku baru pulang dari perjalanan pulang. Kau tahu ibu jika saja aku punya kendaraan, aku tidak perlu menaiki bus, berdesakan dengan orang-orang yang tidak kukenal. Itu hanya beberapa umpatan kata-kata yang saat ini aku sesali, belum lagi yang terlupa.
Tapi ibu, kau selalu tersenyum. Tidak marah sama sekali. Tidak hanya sekali aku meluapkan segala kegagalanku padamu. Dan lagi, engkau tidak akan mengomel seperti orang lain. Kau tetap menjadi ibuku, menjadi ibu yang senantiasa memberikan nasihat. Ibu yang sabar, ibu yang sepenuh hati memberikan kasih sayang.
Ibu.
Apakah aku bisa? Suatu hari nanti ketika aku menjadi seorang ibu. Apakah aku bisa menjadi ibu terhebat sepertimu? Apakah aku juga bisa memberikan arah yang benar?
Ibu.
Meski pun aku mewarisi genetikamu. Aku tidak yakin bisa menuruni segala tentang dirimu. Aku bahkan tidak yakin dapat menjadi bayanganmu. Aku hanya dapat bercermin padamu.
Oh, Ibu.
Sudah sembilan belas tahun sejak hari itu. Sejak hari aku dilahirkan. Sejak hari di mana engkau mulai menghiasi hari-hariku. Sejak hari di mana aku mulai merepotkanmu. Namun, hari ini aku belum bisa membayar segala sesuatu tentang daftar balas budi untukmu. Karena kasihmu tidak akan putus. Sampai kapan pun. Bahkan sampai dunia ini benar-benar berakhir, mungkin hingga dunia baru yang akan tercipta kembali.
Tuhan.
Berikan ibuku kesehatan agar dia dapat selalu tersenyum. Berikan ibuku waktu yang tidak terbatas. Buatlah dia abadi untukku. Agar aku dapat terus bersamanya. Tanpa harus takut kehilangan. Tanpa harus cemas.
Ibu.
Aku yakin engkau masih mengingat cerita beberapa tahun dulu, saat aku masih di sekolah dasar. Ketika engkau baru pulang dari pasar dengan keringat di seluruh tubuhmu. Dengan bakul yang sangat berat di punggungmu. Engkau menghampiriku yang sedang duduk menatap langit, dengan mendekap boneka teddy bear yang engkau belikan tempo hari. Dan sebuah permen di dalam mulutku.
Engkau tahu. Aku tidak mungkin membantah perkataanmu tentang pergi ke sekolah dan permen. Engkau menghampiriku. Lalu menuntunku menuju kamar.
Membaringkanku perlahan. Aku mendengar suara dari dapur. Engkau ada di sana, entah apa yang sedang kau lakukan. Lalu kau kembali dengan sebuah handuk kecil dan air. Engkau meletakkannya di dahiku. Beberapa kali, engkau mencelupkannya ke dalam air lalu memerasnya dan meletakannya kembali.
Sedikit pun engkau tidak beranjak dari sisiku. Aku melihat wajah lelahmu. Aku melihat wajah khawatirmu. Aku merasakan kecemasan yang teramat dalam. Lalu aku memejamkan mataku.
Aku mendengar suara gemerincing tabungan yang sudah kau kumpulkan. Aku mendengar derap kakimu melangkah keluar rumah dengan cepat. Dan kembali dengan obat untukku.
Engkau masih setia menemaniku. Engkau menyuapiku dengan lembut. Engkau mengecup keningku. Engkau tersenyum begitu hangat. Sudah seharian engkau merawatku. Sudah seharian pula engkau tidak beristirahat.
Ibu.
Itu hanya satu dari sejuta ketulusanmu untukku. Betapa banyak pengorbanan dan budi baikmu yang tidak bisa kubalas selama ini.
Ibu.
Engkau yang kini kian menua. Dengan tubuh yang renta. Engkau masih setia menjagaku. Kasih yang tiada putus selalu menghias hariku.
Ibu. Aku sering memanggil namamu. Berapa kali pun aku memanggilmu, engkau selalu menjawabnya. Orang lain mengatakan hal buruk tentangku. Tapi engkau sama sekali tidak mempercayainya meskipun terkadang hal buruk itu benar.
Engkau yang terus mempercayai dengan segenap hatimu. Bahkan setelah engkau mengetahui kebenarannya.
Dengan wajah cemberut aku bercerita padamu tentang nilai ujianku yang jelek. Engkau melihat lembar nilai di tanganku. Kemudian tersenyum sesaat setelah melihat hasil belajarku. “Apa sudah belajar dengan benar?” Mendengar pertanyaannya aku sadar. Aku hanya belajar beberapa saat. Aku menggelengkan kepala. Dengan lembut engkau mengusap-usap kepalaku, mengajakku belajar. Menemaniku. Hingga engkau terkantuk, setelah lelah berjualan di pasar dan melakukan semua pekerjaan rumah seorang diri.
Engkau masih mau menemaniku memperbaiki diri. Memperbaiki kesalahan yang kubuat sendiri.
Engkaulah ibu. Ibu yang selalu menyayangiku. Ibu yang selalu menjagaku. Ibu yang selalu menasehatiku. Ibu yang selalu menunjukan arah untukku. Ibu yang selalu berkorban. Ibu yang senantiasa berjuang. Ibu yang selalu mempercayai buah hatinya. Ibu yang selalu membangkitkan di saat aku terjatuh. Ibu yang selalu meyakinkanku di saat aku ragu. Ibu yang selalu tersenyum hangat. Ibu yang selalu membuatku rindu.
Merindu. Terus merindu. Merindukan semua kasih sayangmu. Lagi dan lagi. Aku tidak akan melepaskanmu. Engkau terlalu berharga. Aku tidak akan melupakkan tentangmu.
Ibu.
Aku tidak bisa membalas jasamu. Oleh karena itu, aku meminta pada tuhan agar memberikan hadiah terindah untukmu. Kado istimewa yang hanya akan diberikan kepadamu ibu.
Sebuah surga nan indah. Sebuah surga yang terbuat dari kasih sayang nan tulus, berdekor kesabaran. Dan ornamen nada cinta yang indah di setiap ruangnya.
Ibu, hari ini aku ingin mengucapkan “Selamat Hari Ibu...” teruslah berada di sisiku.
Aku sangat mencintaimu ibu.
NB : Untukmembaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H