Mohon tunggu...
Lady Eka
Lady Eka Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Saya Ingin belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Eksotika Peradaban Mamluk

1 Agustus 2010   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:24 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Banyak hal yang harus dipelajari lebih lanjut dalam memahami dan mendalami sejarah peradaban Islam, baik berupa manuskrip, tradisi, atau bangunan-bangunan kokoh dan klasik. Bukti sejarah inilah yang nantinya justru banyak berkisah tentang berbagai peradaban masa silam, meskipun ada beberapa diantaranya hanya meninggalkan sebuah kisah. Dalam catatan sejarah, Mesir termasuk salah satu penyimpan varian peradaban eksotik dunia. Dimulai sejak zaman Pharaonik 3200 SM, kemudian periode Hellenistik yang dimulai ketika Iskandar Agung berhasil mengalahkan Persia 332 SM. Dilanjutkan era Romawi 30 SM, dan dekade peradaban Islam yang diprakarsai oleh Amru bin Ash 640 M.

Sejarah peradaban Islam mencatat, Mesir termasuk salah satu kawasan yang sempat dikuasai oleh beberapa Dinasti besar. Dinasti Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun pada tahun 868-905 M. Kemudian Dinasti Ikhshidiyah 935-969 M, Fathimiyah 969-1171 M, Ayyubiyah 1171-1250 M, Mamluk 1250-1517 M, dan Turki Usmani 1517-1805 M. Sampai akhirnya Napoleon Bonaparte berhasil menduduki Mesir tahun 1797 M, yang dikenal dengan ekspedisi Prancis, dan dilanjutkan oleh pemerintahan Muhammad Ali Pasha 1805-1953 M, yang akrab disebut sebagai Bapak Mesir modern. Maka dapat dikatakan, bahwa Mesir merupakan salah satu pusat peradaban Islam yang mampu bertahan dan terhindar dari keterputusan peradaban. Berbeda halnya dengan pusat kota lain, misalnya Baghdad yang pernah hancur ditangan Mongol, dan Andalus hancur ditangan Imperium Barat yang diprakarsai oleh Ratu Issabell dan Sultan Ferdinant.

Posisi Dinasti Mamluk dalam sejarah peradaban Islam sangatlah penting karena momentum keberadaannya di abad pertengahan (abad ke 7-11 H/13-17 M), dimana sejarah pada masa ini umumnya kurang mendapatkan perhatian karena banyaknya distorsi sejarah yang terjadi, sebagaimana diungkap Maria Rosa Monecal: “In the popular imagination and even in the vision of most well-educated people, the very adjective ‘medieval’ is often a synonim for unenlightened, backward dan intelorant culture”. Penulis Barat ini menyatakan, abad pertengahan adalah masa kegelapan dan keterbelakangan, sehinga para sejarawan kurang memperhatikan era ini. Demikian pula dalam beberapa literatur Islam, masa ini dipresepsikan sebagai masa kemunduran peradaban Islam.

Ketika Dinasti Abbasiyah jatuh dan secara politik kekuasaannya runtuh, para sejarawan mengatakan bahwa masa setelah itu adalah masa kemunduran politik Islam. Periodisasi dengan cara ini dapat dikatakan sebagai khilafah-sentris, tentang kesatuan khilafah yang memimpin seluruh wilayah umat Islam. Tetapi ketika wilayah Islam semakin luas dan banyak bermunculan Dinasti-Dinasti lain, maka teori satu khilafah ini dengan sendirinya tidak relevan lagi. Terbukti pada Dinasti Mamluk, politik Islam masih kuat dan peradaban Islam tetap berkembang di berbagai segi kehidupan.

Dinasti mamluk adalah salah satu kesultanan Islam yang berkuasa sepanjang tahun 648-792 H/1250-1517 M. Hal yang unik dari Dinasti ini antara lain adalah bahwa sultan-sultan yang berkuasa berasal dari kalangan “orang-orang yang dimiliki” (mamluk/ budak) dan tentara bayaran. Dan menariknya lagi karena pemimpin pertama yang berkuasa adalah seorang sultanah perempuan yang bernama Syajarah al-Dur. Selain itu, sistem pemerintahan Dinasti Mamluk adalah oligarki militer yang memberikan peluang bagi para elite Mamluk yang paling perkasa untuk berkuasa.

Dinasti Mamluk tidak dapat dikatakan di fase kemunduran pada periodesisasi sejarah Islam, karena pada masa ini terjadi ‘kebangkitan’ budaya dan literatur Arab, dengan banyaknya ulama yang bermukim di Kairo khususnya, dan mereka memainkan peran penting dalam wacana keilmuan dan keulamaan, tidak hanya di Mesir, tetapi juga di dunia Islam secara keseluruhan.

Dinasti Mamluk berasal dari budak-budak yang mempunyai solidaritas yang tinggi dan keteguhan tekad untuk membangun dinasti. Dinasti Mamluk melakukan pengembangan suprastuktur, infrastuktur dan sistem pemerintahan pusat dan daerah yang sesuai dengan perkembangan zaman itu. Suprastruktur yang dikembangkan meliputi kebijaksanaan politik, tujuan bernegara, dan syari’at Islam; sedangkan infrastruktur yang dikembangkan meliputi lembaga-lembaga administrasi dan bangunan-bangunan yang bernilai seni tinggi serta mempertahankan negeri dari ganasnya musuh yang menyerang dan telah memporak-porandakan negara-negara Islam lainnya.

Dinasti mamluk telah lama hancur namun kita masih bisa melihat hasil karya Dinasti ini dalam peninggalan-peninggalanya yang masih kokoh berdiri di negeri seribu menara, Mesir. Peradaban Mamluk, gaya arsitekturnya yang khas dan sumbangsihnya terhadap dunia Islam tidak akan mudah hilang di telan masa dan arus perputaran zaman. Walaupun masyarakat dan Dinasti telah berganti namun karya tetap menghiasi dunia ini dan sejarah telah mencatat eksistensinya dalam lembaran-lembaran berharga serta menjadi referensi dan rujukan untuk setiap orang yang ingin mendalami dan memahami khazanah sejarah peradaban Islam khususnya, dan Sejarah Dunia pada umumnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul, Sejarah Bangsa-Bangsa Muslim, Cet I, (Bandung: Penerbit Mizan), hlm 193.

Hamka, Sejarah Ummat Islam, Vol. II, (Penerbit Jakarta), hlm 181.

Maria Rosa Menocal, The Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christian Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain, (Boston: Little Brown and Company, 2002), hlm 10.

Muhammad Amarah, al-Daulah Islamiyyah Baina al-Almaniyyah wa al-Sullah al-Diniyyah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1988), hlm 16.

Azyumardi Azra, The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Midle Eastern and Malay-Indonesian “Ulama” in the 17 and 18 Centuries, Ph.D Dissertation, (Columbia University, 1992), bab IV.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun