Selamat Tinggal Senja
Engkau menatap roda pesawat mulai bersatu secara perlahan ke dalam burung besi. Kedua mata terlihat tampak pilu. Dahimu mengkerut. Bahkan engkau lupa sesaat apa tujuan kepergianmu. Kedua tanganmu bersatu. Enggan melepaskan satu sama lain.
Bayangan seseorang menyelimuti dirimu pada kekosongan pilu. Langit biru dan kapas putih membentuk awan pulau kecil tiada menyenangkan dirimu. Keputusan apa yang telah aku lakukan? Takdir apa yang membawaku di dalam pesawat ini? Oh, Ternyata. Pikiran-pikiran itu berkecamuk di kepalamu.
Wajahku memperhatikan lagi wajahmu secara saksama. Kedua mata itu menutup perlahan. "Keresahan ini, saya mohon berlalulah sudah berlalulah seiring kepergianku untuk pencarian jati diri di sana. Inginku melupakan sejenak. beban-beban bertumpu pada diriku selama ini sebelum keberangkatan. Dan seseorang telah kutinggalkan. " Hahh... Tidak disangka pada akhirnya engkau memikirkan diriku juga. Apakah engkau tak ingin melupakan saja kenangan menyakitkan tersebut? Dihancurkan oleh sahabatmu sendiri.
Menghancurkan jati dirimu sebagai seorang perempuan. Meski kedua orangtuamu menentang keputusan yang telah kau buat secara sepihak. Ke negara Palestina tujuan hidupmu berada. Meski situasinya semakin memburuk.
Tak tahukah? Padahal aku miliki harapan agar masa lalu kelam itu memudar perlahan namun pasti. Bersama denganku menikmati senja, kita duduk bersama, menyusuri setiap harumnya aroma kopi merebak sunyi.
Namun tetap saja engkau bersikukuh. Kuperhatikan seksama syal kain Palestina membalut kepalamu. Wajahmu kembali menunduk dan kedua tanganmu memegang sebuah buku berisi ayat Al-Quran. Tentu saja kumengerti. Kau tidak ingin memperlihatkan bahwa kau terbaik dalam beribadah. "Aku merasa nyaman hanya itu saja." Katamu pelan.
Terkadang aku sering bertanya kepada dirimu sendiri. Apakah hatimu masih terasa berdebar? Pada hari itu saat kita berdua bertemu. Dua orang manusia. Saling bertatapan satu sama lain. Dan senyum sederhanaku menyusuri wajahmu menunduk malu dengan pipi kemerahan.
Bahkan engkau berusaha berbicara kepadaku. Suara-suara keluar dari bibirmu dengan nada lembut kau utarakan. Â Bahkan langit pun bersinar cerah di hari itu. Dan tidak hanya itu saja rintik hujan membasahi tanah menambah kemesraan kita berdua. Suara-suara rintik hujan syahdu berdendang lugu.
Ya, diriku ini bekerja sebagai pemandu wisata di Kota. Tanpa sengaja bertemu denganmu. terutama dengan aroma kopi Espresso kau hirup perlahan Itu ritual khusus darimu. Yang tidak akan pernah kulupakan.