Mohon tunggu...
Karila Wisudayanti
Karila Wisudayanti Mohon Tunggu... wiraswasta -

A mom of 3, a wife and teacherpreneur who tries to fulfill life to the fullest

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebijakan Menteri Jonan, Tidak Pro Tukang Sayur (Bumerang bagi perekonomian Indonesia)

13 Januari 2015   09:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:15 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelumnya, ijinkan saya mengucapkan belasungkawa kepada para korban dan keluarga korban QZ 8501. Dari tragedi Air Asia QZ 8501. Saya juga memuji dan mengapresiasi Bapak Menteri Jonan yang melakukan pendataan rute maskapai sehingga masyarakat tahu bahwa ada 61 rute maskapai “illegal” dan” tidak terdaftar”. Yang sebagai orang awam, akan terbetik pertanyaan “Lha kok bisa?” padahal pesawat tentu saja berbeda dengan angkot yang bisa seenaknya ngetem dan berangkat dari luar terminal. Ketika hal ini terjadi seharusnya yang menjadi prioritas dari Bapak Jonan adalah untuk pengawasan regulasi dan pengetatan hukum yang terkait, bukan mengeluarkan kebijakan yang mencampuri marketing suatu perusahaan. Penargetan suatu perusahaan, apakah membidik pasar menengah keatas atau menengah kebawah tentu akan memberikan cara marketing yang berbeda, termasuk pada beberapa maskapai yang memilih positioning sebagai Low Cost Carrier.

Semenjak ada tragedi Air Asia, banyak orang mengucapkan jargon ini “ Murah, kok pengen selamet.” (baca dengan nada nyinyir dan nyindir dengan sudut mulut kiri ke bawah dan kanan ke atas ya..hehehe..). Saya sangat tidak setuju, karena pada maskapai “murah” bukan berarti mereka tidak memperhitungkan keselamatan, namun karena ada beberapa akses kenyamanan yang ditiadakan. Ketika naik maskapai yang termasuk Low Cost Carrier maka harus rela untuk “tertekuk” selama beberapa saat karena seat yang mepet-mepet. Bagi orang – orang seperti saya yang ga masalah (karena Puji Tuhan punya kaki pendek..hehehe), Low Cost Maskapai jadi pilihan utama daripada perjalanan dengan transportasi lain yang berjam-jam.

Selain itu misal kita ke Singapura dari Surabaya pakai Air Asia, maka harus siap – siap untuk perut berbunyi (kalau belum makan) atau membeli makanan di pesawat dengan extra cost, sementara dengan rute yang sama kalo pakaiSingapore Airlines (SQ) walau sama-sama kelas ekonominya, saat akan mendarat saya malah kepengen BAB karena diatas pesawat setiap kurleb setengah jam akan ditanyai “Ibu, mau minum?” atau “Ibu mau teh/kopi”, terus ada lunch/dinner nya (tergantung jadwal), abis itu masih ada snack nya.. Jadi BEDA FASILITAS.

Kalau di Air Asia, hiburannya hanyalah Majalah (tapi sangat saya suka) sementara di Singapore Airlines ada tayangan film yang nonstop dari berangkat sampai mendarat (bahkan untuk rute panjang, maka jenis film bisa kita pilih sendiri-sendiri di layar kecil di depan kita dilengkapi dengan earphone nya), jadi sekali lagi BEDANYA FASILITAS! Jadi BUKAN BERARTI yang naik maskapai LOW COST TIDAK PENGEN SELAMAT, namun ada beberapa kenyamanan dan fasilitas yang tidak dinikmati. Jika anda masih sering mengeluarkan jargon menyindir dan nyinyir di atas mungkin karena selama ini terbiasa naik angkot yang jauh dekat 4.000 rupiah ( karena fasilitas angkot mah hampir sama :D) dan belum pernah naik pesawat (hehehe..just kidding, intermezzo).

Tidak semua low cost carrier alpa tentang keselamatan. Setiap kali saya bepergian dengan anak sayamenggunakan Air Asia, pasti mereka akan memberikan additional pelampung dan seat belt serta menjelaskan instruksinya. Namun, memang pernah ada sebuah maskapai yang mungkin “lupa” atau “tidak melihat” bahwa saya bepergian dengan infant dan lupa memberikan additional pelampung sehingga saya harus meminta ke pramugarinya ketika pesawat mau take off. Nah, regulasi untuk memperketat SOP seperti inilah hendaknya yang harus diawasi oleh kementrian, bukan hanya dengan menaikkan tarif minimal.

Suatu perusahaan, apalagi sebesar perusahaan maskapai pasti telah melakukan riset pasar dan penghitungan yang detail tentang komponen biaya mereka. Apalagi entrepreneur sekaliber Tony Fernandez (semoga suatu saat bisa belajar ke beliaunya langsung. Amien :D) yang pasti (semoga sih) tetap memperhitungkan factor keselamatan customernya.

Dari dulu, saya iri kepada Malaysia dan Singapore, karena mereka memiliki entrepreneur yang memikirkan perputaran perekonomian di negaranya. Malaysia dengan Air Asia-nya “sengaja” membuat semua rute yang transit dulu di Kuala Lumpur akan memiliki harga yang lebih murah dibandingkan direct flight. Singapore dengan Tiger Airways nya bahkan membagikan voucher untuk penerbangan yang transit dulu di Singapore sehingga pada ahkirnya akan lebih murah biayanya (walau kalau dipikir dari Indonesia ke Aussie harus transit dulu di Singapore khan jadi muter jalannya). Maskapai Indonesia? Hmm… sejauh yang saya tahu belum ada, cmiiw.

Padahal dari transit itu saja dapat menarik peredaran uang ke negara tersebut dan memutar perekonomian negara. Katakanlah yang transit 3-4 jam, pasti akan beli makan – minum (walau masih di daerah bandara), belum lagi jika transit yang hingga keesokan harinya maka jasa penginapan juga akan kecipratan. Atau ketika penumpang transit tersebut memutuskan “jalan-jalan” di kota itusambil menunggu penerbangan selanjutnya, maka perekonomian di kota itu juga akan dapat berputar.

Bapak Menteri, jika suatu saat artikel ini terbaca oleh anda, harapan saya bahwa anda dapat mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan jalur transportasi yang terjangkau, aman dan mudah ke seluruh pelosok Indonesia sehingga setiap orang Indonesia bisa melihat indahnya negeri ini. Saya pribadi sangat ingin ke Pulau Ora, Pulau Derawan, atau ke Raja Ampat namun sayangnya ke tempat – tempat itu lebih susah transportnya dan juga lebih mahal jika dibandingkan dari Surabaya ke Hongkong.

Bahkan dengan kebijakan Pak Menteri, yang mana tarif pesawat Surabaya – Jakarta hampir mendekati 800.000/penerbangan, maka untuk liburan keluarga saya akan lebih memilih ke Singapura dengan Tiger Airways yang cuman abis 1,2 jutaan PULANG PERGI! Atau ke Bangkok yang mana pada musim promo Air Asia bisa ga sampai sejutaan PULANG PERGI! Bukan berarti saya tidak cinta Indonesia, namun bepergian dengan suami + tiga orang anak maka rute ke Singapura atau Bangkok akan “lebih ekonomis”.

Jika ada 20 orang saja yang memiliki pemikiran yang sama dengan saya, maka bayangkan berapa besar potensi pasar pariwisata dalam negri yang hilang karena kebijakan anda. Dan hal tersebut akan memberikan efek domino kepada perekonomian negara ke segenap profesi, bahkan sampai ke tukang sayur. Ketika pariwisata lesu, maka omzet perhotelan atau industry terkait (kuliner, cinderamata,bahkan tukang ojek) akan menurun sehingga salah satu alternative adalah dengan mem-PHK kan karyawan. Jika mereka ter PHK, maka mereka akan kesulitan belanja, termasuk belanja online seperti bisnis saya maupun belanja kebutuhan sehari – hari ke tukang sayur. (Fiiuuhh..berhasil juga menghubungkan kebijakan itu ke dampaknya bagi para tukang sayur..hehehe..).

Intinya adalah menurut saya, tugas mendesak pemerintah saat ini adalah dengan membuat regulasi yang memudahkan pengawasan agar setiap maskapai mengutamakan keselamatan, memastikan setiap maskapai mengikuti SOP yang baku untuk menjamin keselamatan. Sementara dari sisi tarif, (karena maskapai adalah era bisnis, berbeda dengan kereta yang perusahaan negara) biarlah para maskapai memikirkan cara marketingnya masing – masing. Karena terus terang saya masih tidak mengerti korelasi dari banyaknya “rute illegal” (yang menandakan bobroknya system dan mental) dikaitkan dengan harus dinaikkannya harga tarif pesawat agar penumpang selamat. Apakah dengan harga mahal, pasti akan selamat? Padahal harga mahal dan murah itu relative juga. Sebuah barang bisa saja memiliki harga yang lebih murah walau kualitasnya tetap terjamin, jika kinerja ditingkatkan, atau jika bisa memangkas biaya marketing. Bukan berarti yang murah itu kualitasnya pasti akan berkurang.

Hmmm.. benernya ingin membahas lebih detail tentang masalah harga, namun biarlah dibahas di artikel yang lain. Artikel yang ini sudah cukup panjang :) Intinya sekali lagi, saya harap Bapak menteri mempertimbangkan kembali tentang tarif penerbangan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun