Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Senjakala Pencitraan Ahok

6 Juni 2016   20:11 Diperbarui: 6 Juni 2016   20:19 1940
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Foto:Kompas.com

Lazim orang menganggap ketokohan merupakan kunci kemenangan dalam ajang pemilihan kepala daerah. Pendapat ini seakan meniadakan peran partai politik di balik pemenangannya. Taruhlah misal Jokowi diusung oleh partai-partai Islam saat Pilgub DKI 2012, mereka berhadapan dengan koalisi Golkar, PDIP, Demokrat, dan Gerindra yang mengusung Foke-Nara. Apakah ia juga akan menang meskipun dipasangkan dengan tokoh muslim? 

Wishful-thinking fallacy jika menganggap kemenangan koalisi PDIP dan Gerindra waktu itu diakibatkan semata-mata oleh Jokowi effect. Faktanya, Jokowi harus melalui putaran kedua untuk menumbangkan Foke yang dimotori oleh Demokrat, partai dengan jumlah kursi terbanyak di DPRD DKI Periode 2009-2014. Popularitas dan elektabilitas Foke lebih unggul dibandingkan calon lainnya.

Survei PDIP dari Indobarometer awal Februari 2012 menempatkan popularitas Jokowi di urutan ketiga setelah Foke dan Tantowi Yahya. Tantowi, lho, punya prestasi apa dia? Tapi, Jokowi tetap menjadi saingan terberat Foke. Survei cyrusnetwork pada Desember 2011menyebutkan elektabilitas Jokowi hanya 6% di bawah Faisal Basri, sedangkan Foke bertengger di urutan pertama dengan 25,3%.

Lalu, Januari 2012 elektabilitas Jokowi menjadi 17,3 % membuntuti Foke yang turun menjadi 24,0%. Survei cyrusnetwork pada akhir Januari 2012 mendudukan Jokowi sebagai saingan utama Foke. Sebanyak 38% memilihnya sebagai cagub. Foke hanya dipilih 34,0%. Persaingan ketat keduanya lewat survei elektabilitas sampai April 2014 kembali dimenangi oleh Foke dengan 42,4% dan Jokowi 31,8%. Popularitas Foke-Nara tertinggi di angka 95,6%. Adapun Jokowi-Ahok 71,1%. Dan, yang menarik ialah komentar Hasan Nasbi terhadap hasil survei lembaganya itu dalam catatan Kompas. Akankah Hasan Nasbi berkomentar hal yang sama tentang elektabilitas Ahok?

"Kalau saya yang jadi tim sukses atau konsultannya, saya akan kasih lampu merah pada incumbent karena dia sudah kerja selama lima tahun, tetapi tidak signifikan," kata Hasan, dalam jumpa pers tentang Hasil Survei Pra-Pilkada DKI Jakarta 2012, Rabu (18/4/2012), di Jakarta Pusat.

Pasangan Jokowi-Ahok akhirnya memenangi dua putaran. Padahal, hasil seluruh survei dari lembaga kenamaan mengunggulkan Foke sampai menjelang pilgub putaran pertama. Contohnya, survei LSI pimpinan Denny JA yang digelar antara tanggal 22-27 Juni 2012 dengan jumlah responden 450 orang. Pasangan Foke-Nara meraih 43,7 persen. Margin of error 4,8 persen dalam multistage random sampling. Urutan kedua yaitu Jokowi-Ahok. Perolehan mereka jauh tertinggal, yakni 14,4 persen. 

Perolehan data survei tersebut menggambarkan bahwa ketokohan sangat relatif mempengaruhi hasil pemilihan kepala daerah. Prosentase popularitas dan elektabilitas tidak mencerminkan keadaan sebenarnya karena banyak faktor atau variabel yang saling berkorelasi atau “bermain”. Apalagi, DKI Jakarta merupakan daerah heterogen yang penduduknya begitu beragam baik sosial, ekonomi, pendidikan, maupun kebudayaan. Empat hal ini membentuk aspirasi politik individu dan masyarakat. Akibatnya, personalisasi politik niscaya menghadapi karakteristik masyarakat yang majemuk.

Personalisasi politik adalah politik yang mengedepankan identitas ketokohan. Dengan kata lain, figur tokoh yang diusung mendominasi idealisme tentang kepemimpinan. Personalisasi dapat bermuara pada pengultusan kepada individu dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang bernuansa kerakyatan. Politik tidak lagi diwacanakan secara populis, tetapi dielu-elukan berdasarkan popularitas -siapa mendukung siapa dan sarat akan kepentingan kelompok dan golongan tertentu. Politik menjadi bias personal dan masyarakat dibutakan oleh figur ketokohan, sehingga wawasan berpolitik tergerus oleh sentimen-sentimen pro dan kontra.

Kemudian, masing-masing simpatisan dan pendukung saling membela sang idola. Benar atau salah bukan persoalan asal memperoleh kekuasaan. Politik mulai tidak esensial dan lebih menonjolkan eksistensi. Slogan komunitas “Teman Ahok dan Muda-mudi Ahok” ialah bukti eksistensi individual cenderung ditonjolkan daripada problematika masyarakat yang perlu dihadapi bersama. Sadar atau tidak, eksklusivisme terjadi karena siapapun yang bersinggungan atau berada di dalamnya telah melabeli dirinya sebagai pendukung Ahok.

Personalisasi dan eksklusivisme mengantar para pendukung Ahok ke jurang pemisah antara pemimpin dan rakyat yang dipimpin –ciri patron-client politic. Tak peduli seberapa besar dukungan yang diberikan, pasti terdapat jarak bagi keduanya. Terlebih, Ahok adalah bakal calon petahana yang lekat dengan segala bentuk ketidapuasan, kritik dan evaluasi dari masyarakat. Jalur perseorangan yang ia tempuh justru memastikan bahwa dirinya tidak akan terpilih lagi dalam Pilgub DKI 2017.

Di sisi lain, muncul seruan “Asal Bukan Ahok” sebagai anti-thesis. Seruan penolakan ini seakan menjadi eksponen koreksi terhadap personalisasi politik pendukung Ahok. Walaupun sebagian yang menolak Ahok tidak terang-terangan menampakkan primordialisme, keterlibatan sentimen SARA tidak dapat dipungkiri seperti halnya terjalin di kubu pendukung Ahok. Bukankah Ahok sendiri sering memamerkan keminoritasannya? Tak perlu sinis jika menimbulkan keresahan di kalangan fundamentalis keagamaan. Sebaliknya, perlawanan dengan menggunakan isu keagamaan malah kontra-produktif sebagaimana dimaksud oleh peneliti LIPI, Siti Zuhro.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun