Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Saksi Ahli Pemerintah di PTUN Salahkan Izin Reklamasi Ahok

10 April 2016   06:00 Diperbarui: 10 April 2016   08:19 3719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ibnu Sina (kanan). Foto: Humas MK"][/caption]Reklamasi di Teluk Jakarta menuai polemik berkepanjangan dari berbagai pihak. Para akademisi, praktisi lingkungan, dan pakar hukum turut berkomentar. Petinggi pemerintahan di lingkungan istana pun angkat bicara. Adalah Seskab Pramono Anung dalam rilis wawancara menekankan adanya koordinasi antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI untuk menyelesaikan persoalan proyek itu.

Seskab menyampaikan pendapatnya perihal perizinan reklamasi yang tarik-menarik antara Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan Gubernur DKI, Ahok. Namun, pakar hukum tata negara Mahfud MD dan Irman Putra Sidin berseberangan dengan pendapat seskab. Keduanya mempunyai argumentasi hukum yang saling mendukung.

Pertama, TAP MPRS XX/1966 menempatkan Keputusan Presiden di bawah Peraturan Pemerintah. Setelah UUD 1945 diamandemen, Peraturan Presiden berada di bawah Peraturan Pemerintah. Akibatnya, kedudukan keppres dulu sejajar dengan perpres sekarang. Mahfud menjelaskan hukum tata perundang-undangan bahwasanya perpres yang lama tidak berlaku jika terdapat perpres yang baru. Kemudian, tinggal diperhatikan transisinya dalam ketentuan peralihan.

Karena itu, dapat dibuktikan alasan Gubernur dan Bappeda DKI untuk mengeluarkan izin reklamasi adalah keliru. Bappeda DKI menggunakan Perpres No. 54 tahun 2008 untuk meloloskan kewenangan gubernur sesuai Keppres No. 52 tahun 1995. Mereka berdalih Perpres No. 54 hanya mencabut aturan penataan ruang dari Keppres No. 52. Selain itu, Perpres No. 122 tahun 2012 tidak utuh diterapkan.

Perpres No. 122 menyebutkan izin reklamasi yang diberikan sebelum peraturan ini tetap berlaku sampai dengan batas waktu izin berakhir. Artinya, Ahok tidak berwenang memperpanjang izin prinsip dan mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi berdasarkan Keppres No. 52. Selanjutnya, Mahfud menilai proyek reklamasi yang diizinkan oleh Ahok itu ilegal karena tidak memiliki payung hukum berupa perda. Pemprov DKI baru mengusulkan raperda zonasi setelah izin reklamasi diberikan.

Kedua, Irman mengutip Undang-undang No. 1 tahun 2014 untuk menggarisbawahi bahwa perizinan reklamasi merupakan kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan. Sebab, DKI Jakarta adalah Kawasan Strategis Nasional (KSN) menurut PP No. 26 tahun 2008. Ketentuan hukum harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi. Atau, peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang rendah -asas lex superior derogat legi inferior.

Asas itu mematahkan argumentasi Bappeda DKI yang juga mengatakan Perpres No. 122 sebatas memberikan kewenangan menteri pada Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). UU No. 1 tahun 2014 adalah peraturan tertinggi dan terbaru yang mengatur pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Tak pelak, saya lega mendengar pendapat kedua pakar hukum tata negara tersebut. Setidaknya saya yang tergolong awam telah menulis analisa yang tidak jauh berbeda di Kompasiana. Tapi, saya belum merasa senang jika gugatan terhadap izin reklamasi di PTUN tidak berhasil. Dengan putusan PTUN yang mengabulkan gugatan warga pesisir terhadap Pemprov DKI, pengusutan KPK atas skandal reklamasi dapat terbantu. KPK memerlukan delik formil untuk membuktikan penyalahgunaan kewenangan dalam proyek reklamasi.

Kabar terakhir, sidang gugatan reklamasi di Teluk Jakarta kembali digelar Kamis (7/4). Pihak penggugat ialah warga pesisir yang terhimpun dalam Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) dengan diwakili oleh LBH Jakarta. Dan, pihak tergugat ialah Pemprov DKI. PT Muara Wisesa Samudra (anak PT Agung Podomoro Land Tbk.) selaku tergugat intervensi.

Melalui sidang gugatan itu tidak disangka-sangka saksi ahli dari pemerintah, Ibnu Sina Chandranegara mengungkapkan bahwa izin reklamasi tidak benar secara prosedural.

“Izin harus sesuai dengan rezim perundang-undangan yang telah diatur. Kalau memang (perundang-undangan) berubah lagi, maka permohonannya mengikuti pengajuan yang kemudian diajukan," ujar Ibnu di Kantor Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Jakarta Timur –CNNIndonesia.com (8/4).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun