Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perda Syariah Langgar Konstitusi

26 Agustus 2014   03:31 Diperbarui: 17 Oktober 2015   12:34 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408973660855113880

Mengenang kembali perjalanan sejarah bangsa ini, sampailah pada perumusan dasar negara melalui sidang BPUPKI 29 Mei - 14 Juli 1945 (Sidang I dan II), Panitia Sembilan yang merancang Piagam Jakarta (Jakarta Charter) 22 Juni 1945, pengesahan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI, dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Walaupun rakyat Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa ini belum dapat menikmati kemerdekaan sepenuhnya sebagai bangsa dan negara. Dalam rentang waktu pelucutan senjata tentara Jepang, Indonesia masih menghadapi Sekutu dan Kolonialis Belanda karena sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara Sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang diduduki oleh Jepang kepada pemilik koloninya masing-masing apabila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya.

Latar Belakang

Sebelum pendaratan Sekutu di Jakarta dan Surabaya, para pendiri negara ini bersilang pendapat tentang gagasan dasar negara. Mereka tentu sudah memperkirakan kedatangan Sekutu, akan tetapi tidak menyangka bahwa silang pendapat dalam perumusan dasar negara tidak mencapai titik temu melalui Sidang BPUPKI, sehingga dilanjutkan oleh Panitia Sembilan. Latar belakang tidak tercapainya kesepahaman dan kesepakatan saat itu ialah kepentingan dari pihak kebangsaan (nasionalis) dan pihak Islam. Maka, pada masa reses Panitia Sembilan mencantumkan kalimat "Ketoehanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari'at Islam bagi pemeloek2-nja" dalam Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut 'Mukaddimah' (Bhs. Arab). Pada Sidang II BPUPKI, perdebatan terus berlanjut di antara peserta sidang mengenai penerapan aturan Islam atau Syariat Islam dalam bingkai negara Indonesia.

BPUPKI dibubarkan, dan disusul PPKI yang memulai sidang pada tanggal 7 Agustus 1945. Golongan muda memaksa agar PPKI tidak perlu menunggu kerja sama dari Jepang untuk menyatakan kemerdekaan. Kompromi politik pun terjadi dari pihak keagamaan antara kelompok muslim, non-muslim, dan nasionalis yang menghasilkan perubahan pada UUD 1945. Kata Mukaddimah diganti Pembukaan, tujuh kata dalam Piagam Jakarta diubah menjadi "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa", dan presiden yang disyaratkan beragama Islam dihapus.

Ternyata, babak silang pendapat belum usai. Setelah Pemilu pertama 1955, Badan Konstituante dibentuk untuk menyusun UUD baru pengganti UUDS 1950. Pihak Islam, khususnya Masyumi yang memenangi peringkat kedua menolak Pancasila sebagai dasar negara. Karena tidak tercapai kuorum, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan memasukkan kalimat "kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut."

Makna dan kedudukan Sila Pertama Pancasila

Pancasila adalah weltanschauung. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan pandangan hidup manusia yang memawas kehidupan antar- dan inter-masyarakat dalam suatu kesatuan. Kepentingan masyarakat menjadi tolok ukur bagi eksistensi individu di dalamnya karena negara bukanlah kumpulan orang per orang. Maka, sisi kepribadian sosial dalam diri setiap orang mesti eksis untuk memaknai Pancasila. Kedudukan masyarakat tidak dapat dikerucutkan ke dalam golongan atau kelompok karena masyarakat dalam sebuah negara adalah rakyat atau bangsa yang memiliki keanekaragaman ras, suku, tradisi, dan agama atau bersemboyan "Bhinneka Tunggal Ika".

Dengan pemahaman tersebut, maka sila pertama bahwa negara berdasar atas "Ketuhanan Yang Maha Esa" mengandung semangat kebhinnekaan dalam wilayah kemanusiaan karena negara adalah ruang lingkup kehidupan yang dijalani oleh manusia. Dan pada kenyataannya, manusia tidak memiliki pemikiran dan kehendak yang seragam antara satu dan lainnya baik personal maupun komunal.

Dalam pengertian lain, kepentingan individu tidak boleh menabrak kepentingan sosial dan sebaliknya, kepentingan umum tidak boleh memasuki wilayah pribadi seseorang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun