Sejak kasus kematian Mirna bergulir, berbagai isu miring dihembuskan kepada Jessica seolah-olah ia adalah pembunuhnya. Publik umumnya memberi istilah character assassination, tapi saya cenderung menyebutnya profiling.
Masih ingat kesaksian ahli kriminolog Rony Nitibaskara di persidangan? Ia membusungkan dada dengan analisanya membaca gesture dan bentuk wajah orang. Metode ini sudah ketinggalan zaman dan konteks keilmuan. Jessica pun dikatakan seorang pendendam. Duh! Kasihan orang-orang yang terlahir bercirikan mirip wajah Jessica. Mereka bisa saja protes kepada orangtuanya. Namun, metode itu masih dipakai oleh sebagian penegak hukum untuk mendeskripsikan karakter agar menguatkan dugaan atas pelaku tindak kejahatan.
Beberapa pihak membangun profil mengenai Jessica. Ia lesbian, impulsif, dan agresif yang seringkali coba bunuh diri. Semuanya hendak dikait-kaitkan dengan kematian Mirna sebagai teman curhat yang sakit hati. Masa lalu buruknya yang dianggap pernah berpacaran “normal” dieksploitasi guna mempersempit celah keraguan bahwa ia seorang pembunuh. Adapula yang mengatakan Jessica itu pintar, maka lihai berkelit dan tampak tenang menghadapi tuduhan. Lho, impulsif dan agresif kok main racun dan bersikap tenang? Alur cerita lantas dipentaskan. Kafe Olivier jadi panggung pentas bagi Jessica.
Pertama, benarkah ia memilih meja nomor 54 karena jauh dari jangkauan CCTV ?
Faktanya: (waktu sebatas kisaran)
15.31, Jessica sampai di kafe, lalu memesan meja di area non-smoking. Ia keluar.
16.14, Jessica masuk ke kafe kedua kalinya, dan membawa tiga paper bag.
Dikabarkan lokasi sudah dipersiapkan, sedang ia tidak tahu letak dan nomor meja. Terbukti saksi resepsionis yang mengantarkan Jessica. Saksi juga mengakuinya dalam persidangan.
16.26, es kopi Vietnam datang dan diletakkan di dekat Jessica.
16.27, server bar menghidangkan cocktail di sisi meja yang lain. Ia melihat sedotan berada di dalam gelas es kopi Vietnam.