Mohon tunggu...
Adhyatmoko
Adhyatmoko Mohon Tunggu... Lainnya - Warga

Profesional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Teman Ahok Jadi Bantalan Politik Dua Muka Sang Petahana

8 Maret 2016   16:06 Diperbarui: 8 Maret 2016   16:28 1187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Grafik KTP terkumpul untuk pencalonan Ahok sebagai gubernur dalam Pilgub 2017 pada Oktober 2015 (Sumber: Teman Ahok)"][/caption]

Sejak reformasi digaungkan, makna politik di Indonesia tengah mengalami pendangkalan. Banyak orang mengartikan politik tak lebih daripada upaya mendapatkan harta, kedudukan, dan kekuasaan. Pendapat mereka memang beralasan karena dominasi partai politik terlampau besar dan mencerminkan pola pragmatisme yang sekedar meraup keuntungan dengan kepraktisan.

Dari filsafat zaman klasik di Yunani sampai abad pertengahan di Eropa, politik ditempatkan pada perspektif yang fundamental tentang hubungan antara negara dan rakyat. Negara dipahami sebagai bentuk kehidupan yang hakiki sekaligus ideal dan tidak terpisahkan dari karakteristik sosial kemanusiaan. Karena itu, tujuan berpolitik mesti diarahkan untuk menguatkan nilai-nilai sosial, memecahkan problematika sosial, dan mewujudkan kesejahteraan sosial.

Namun, yang tampak dari kondisi modern sekarang dan juga dialami oleh rakyat Indonesia ialah penggeseran politik ke ranah personal-komunal  berupa egoisme politik. Politik tidak lagi diwacanakan secara populis, tetapi dielu-elukan berdasarkan popularitas -siapa mendukung siapa dan sarat akan kepentingan kelompok dan golongan tertentu.

Politik menjadi bias personal dan masyarakat dibutakan oleh figur ketokohan. Seolah-olah negara akan luluh lantak jika idolanya tidak berkuasa. Wawasan berpolitik tergerus oleh sentimen-sentimen pro dan kontra. Akibatnya, masing-masing simpatisan dan pendukung saling membela sang idola. Benar atau salah bukan persoalan asal memperoleh kekuasaan.

Politik mulai tidak esensial dan lebih menonjolkan eksistensi. Tak heran seorang Gubernur DKI Jakarta, Ahok mengatakan bahwa menjadi pejabat adalah pekerjaan yang mulia. Menjadi pejabat berbeda dengan esensi melayani atau mengabdi karena banyak pejabat terbukti berperilaku bak kutu loncat. Bagi Ahok, ia eksis setelah menjabat.

Kendati demikian, sistem demokrasi melalui pemilihan langsung bukanlah penyebab egoisme politik. Masalahnya ialah pemilihan atas dasar popularitas dan sentimen. Ibarat selebritis, ketenarannya tidak saja bergantung pada fans, melainkan juga haters. Sentimen like or dislike mendongkrak posisi selebritis. Semakin tinggi sentimen yang diberikan, semakin ia eksis dan terkenal. Ternyata itu berlaku bagi figur politik, Ahok misalnya.

Jelang Pilgub DKI 2017, tampil slogan-slogan “Teman Ahok”, “Muda-mudi Ahok”, dan “Asal Bukan Ahok”. Mereka memakai slogan yang bernuansa personal dengan mencirikan seorang figur. Gaya kampanye seperti itu jelas mengedepankan eksistensi individual daripada problematika masyarakat yang perlu dihadapi bersama.

Program-program pembangunan yang ditawarkan lewat kampanye tak lebih dari bumbu pelengkap untuk meraih dukungan politik.  Argumentasi dibuat tanpa analisa dan cenderung subyektif yang berbuntut debat kusir selain pura-pura tidak tahu. Akibatnya, sentimen mengalahkan akal sehat. Rasionalitas digadaikan demi kampanye pemenangan masing-masing kubu. Kritik seakan menjadi barang haram (Contoh: Soal reklamasi pantura, penertiban Kalijodo, dan pembelian lahan Sumber Waras).

Perhatikan saja sepak terjang Teman Ahok yang rabun hukum karena mengusung pencalonan Ahok sebagai Gubernur tanpa kejelasan calon yang menempati posisi wakil gubenur. Undang-undang mengamanatkan pendaftaran pilgub untuk sepasang calon, gubernur dan wakilnya. Tapi, Teman Ahok keburu berkoar-koar telah mengumpulkan dukungan sejumlah 700-an ribu pada Februari tahun ini . Di Metro TV, salah satu pelopor Teman Ahok bahkan terang-terangan sesumbar dapat mencalonkan Ahok jika saat itu pendaftaran pilgub dibuka. Tidak tahu aturan. Apesnya, mereka harus mengumpulkan ulang dukungan dari warga Jakarta.

Selama ini, Teman Ahok dianggap sebagai bentuk aspirasi dan apresiasi para pemuda terhadap kinerja Ahok. Mereka digambarkan tanpa kompromi dengan partai-partai politik yang menghendaki Ahok bertarung di jalur politik. Benarkah? Karena, fakta politik akhirnya menampar kemunafikan mereka dengan menerima kehadiran partai politik meskipun menggunakan istilah “mendukung bukan mengusung”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun