Selasa (31/5) menjadi catatan sejarah dimana keadilan masih punya tempat di republik ini. Kendati keraguan akan penegakan hukum memuncak pasca terbongkarnya skandal pengaturan perkara di MA, rakyat mesti optimis dan kebenaran patut diperjuangkan. Penyelenggara negara harus mawas diri bahwasanya Indonesia dibangun bukan dari, oleh, dan untuk segelintir kepentingan. Sehubungan dengan peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni, seluruh komponen bangsa kembali diingatkan betapa pentingnya Sila ke-5 tentang Keadilan Sosial.
Putusan Hakim Adhi Budhi Sulistyo pada pengadilan TUN tingkat pertama di Jakarta kemarin adalah refleksi yang tepat bagi pemerintah untuk menjalankan roda pembangunan. Masyarakat wajib dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sejak reformasi, setiap kebijakan pemerintah diwajibkan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik (accountable). Kebijakan tidak lagi layak dinegosiasikan secara eksklusif dengan mengabaikan aspirasi masyarakat.
Di sisi lain, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengakui telah menjalin kesepakatan bersama empat pengembang tanggal 18 Maret 2014. Kesepakatan atau perjanjian itu seputar perizinan reklamasi yang mensyaratkan kontribusi tambahan yang wajib dipenuhi oleh pengembang. Namun, publik khususnya masyarakat yang terdampak reklamasi sama sekali tidak mengetahuinya. Pemprov DKI tidak melakukan sosialisasi baik sebelum maupun sesudah terbitnya SK izin pelaksanaan reklamasi kepada warga pesisir Jakarta.
Berikut ini garis besar pertimbangan Hakim PTUN dalam amar putusannya, sehingga memerintahkan pihak Tergugat Gubernur DKI Jakarta untuk mencabut Keputusan No. 2238 tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra tertanggal 23 Desember 2014:
1. Sebagaimana dipaparkan di atas, hakim memandang bahwa penerbitan izin pelaksanaan reklamasi tidak partisipatif, transparan, dan tidak sejalan dengan prinsip pembangunan;
2. Izin pelaksanaan reklamasi atas Pulau G bertentangan dengan ketentuan pada Pasal 31 dan 39 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Perencanaan reklamasi tidak didahului dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS);
3. Pemprov DKI dan pengembang tidak melibatkan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup sebagai pihak yang turut menilai AMDAL. Penerbitan izin lingkungan tidak sesuai prosedur karena tidak diumumkan lewat media yang mudah diakses oleh masyarakat;
4. Reklamasi menimbulkan potensi kerusakan lingkungan hidup yang perlu diantisipasi dengan kajian atau penelitian ilmiah. Pemerintah tidak mampu memastikan dampak proyek reklamasi terhadap lingkungan hidup, tetapi kerusakan yang diakibatkannya terlihat;
5. Proyek reklamasi mengakibatkan kerugian berupa hilangnya sumber penghidupan para nelayan dan menimbulkan dampak sosial ekonomi;
6. Izin reklamasi mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 berikut turunannya Perpres 122 tahun 2012;
7. Izin pelaksanaan reklamasi tidak sesuai dengan prosedur karena tidak didahului dengan perencanaan ruang yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K);