Dalam kesadaran rasionalnya, manusia telah membangun dan mengembangkan logika selama ribuan tahun sampai detik ini. Tidak ada satupun bidang keilmuan yang mengesampingkan logika sebagai sistem berpikir untuk mewujudkan pengetahuan yang mengandung nilai kebenaran.Â
Bahkan, tafsir agama yang kini menjamah ranah keilmuan mulai mengadopsi peran logika kendati hanya mengambil sebagian kecil aturannya. Jika kemudian ada orang yang berkali-kali menabrak logika, mungkin cara berpikirnya jauh tertinggal di masa permulaan masehi.
Karena menyebut presiden adalah petugas partai merupakan kesesatan berpikir yang pola kesalahannya juga pernah dilakukan oleh Aristoteles (Lihat: Nicomachean Ethics) dengan menganalogikan fungsi manusia seperti organ tubuhnya.
"Is he born without a function? Or as eye, hand, foot, and in general each of the parts evidently has a function, may one lay it down that man similarly has a function apart from all these?"
Kesalahan itu disebut "the fallacy of composition". Agar lebih mudah dipahami, simak contoh berikut:
1)
Atom menyusun uang logam
Atom tidak terlihat dengan mata telanjang.
Jadi, uang logam juga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang.
2)
Dodo adalah murid SD Kartini.
Dodo adalah anak Bu Mega.
Jadi, murid SD Kartini adalah anak Bu Mega.
Kedua contoh di atas memuat pola kesalahan yang sama karena penarikan kesimpulan atas keseluruhan hanya berdasarkan apa yang benar dari predikat/karakteristik/properti bagian pembentuknya. Kesalahan tidak dijumpai dari bentuk argumentasi, melainkan substansi. Inilah kesulitannya dalam menganalisa.
Dan, soal apakah presiden adalah petugas partai terdapat dua pondasi yang digunakan untuk menjawabnya, yakni logika dan konstitusi. Kedua-duanya memiliki keterkaitan dan saling menguatkan. Sehubungan dengan figur Jokowi, klaim bahwa presiden adalah petugas partai merupakan kesimpulan ngawur dari dua premis yaitu:
a. Jokowi menjabat presiden.
b. Jokowi adalah petugas partai.Â
Presiden adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945 (Baca: konstitusi). Lembaga negara tidak berdiri sendiri karena berada dalam sistem ketatanegaraan yang memiliki struktur organ dengan segala hak, kewajiban, dan kewenangan yang diatur dalam tata peraturan perundang-undangan. Maka, Â pengertian presiden selaku kepala pemerintahan tidak dapat direduksi kepada figur orang per se-.Â