Dalam pemerintahan yang menganut sistem demokrasi, pergantian rezim lazim diikuti oleh gerbong oligarki kekuasaan elit politik dan pengusaha. Apalagi, zaman sudah berbeda dari masa Soekarno. Dulu founding fathers selalu menanamkan pondasi kebangsaan dan kenegaraan. Kini, petinggi negri ini lebih sibuk bersiasat bagaimana mengegolkan suatu proyek. Bahkan, patgulipat penyelenggara negara dan pengusaha jauh dari jangkauan penegakan hukum ketika permainan berlangsung pada tataran kebijakan. Misal kasus BLBI, Century, dan reklamasi Teluk Jakarta, kemana rimbanya? Pisau penegakan hukum terasa tumpul jika semakin menghujam ke atas.
Reklamasi Teluk Jakarta perlu kembali disebut karena menyisakan tanda tanya besar. Terlebih, pimpinan KPK pernah mengategorikannya sebaga "grand corruption". Apakah skandal reklamasi sekadar dilokalisir pada kasus penyuapan anggota DPRD DKI? Padahal, penyuapan ialah buntut dari pengajuan raperda oleh Pemprov DKI untuk melegalkan izin reklamasi yang dikeluarkan oleh Basuki Tjahaja Purnama tanpa mengindahkan ketentuan perundang-undangan (Lihat: 1 dan 2).
Selain itu, skandal reklamasi harus dijawab oleh Jokowi berkenaan dengan posisinya sebagai Gubernur DKI sebelum digantikan sementara oleh BTP. Jokowi sempat hadir untuk meninjau pembangunan rusun Daan Mogot (7/4/2014, Jokowi Tinjau Rusun Hasil "Palak" Pengembang - Kompas.com) sebagai bagian dari kewajiban pengembang AP untuk membuat fasilitas umum dan khusus. PT APL masih berhutang kepada Pemprov DKI dari setiap area properti yang dijualnya dimana 20% dari total lahan itu dikonversikan untuk membangun rumah susun. Beberapa waktu berselang, pembangunan rusun itu malah dimasukkan sebagai pengurang kontribusi tambahan pengembang yang mengantongi izin reklamasi (18/7/2016, APL Beberkan 13 Proyek Kontribusi Tambahan Sebesar Rp 392 Miliar - Liputan6.com).
Lalu, apakah Jokowi pun tidak tahu-menahu perihal rencana pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras? Di tengah kontroversi, ia justru mengangkat Ketua Umum Yayasan Sumber Waras, Jan Darmadi menjadi anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Ada apa sesunguhnya? BTP alias Ahok uring-uringan menyalahkan BPK yang menengarai kerugian negara dalam pembelian lahan RSSW. Sebaliknya, ia meminta dan mempercayai audit BPK terkait kasus pembelian lahan di Cengkareng Barat.
Selayaknya pesta besar, pilpres membutuhkan dana yang besar. Lagi-lagi pengusaha (Baca: Swasta) berperan signifikan menyumbang para kontestan. Sayangnya, tidak terdapat aturan hukum yang membatasi kontestan pemilu menjanjikan sesuatu kepada swasta. Seperti halnya, tidak ada larangan bagi mantan pejabat menerima tanda terima kasih dari pengusaha. Berdalih bahwa suatu kebijakan tidak dapat dipidana, maka realisasi kesepakatan bersama pengusaha tinggal dibungkus dengan pranata hukum yang memadai. Inilah siasat yang melatarbelakangi grand corruption saat hukum dirancang untuk meloloskan kejahatan itu sendiri. Baik kasus reklamasi maupun pembelian lahan RSSW bermula ketika sebuah perhelatan akbar digelar, yakni Pemilihan Presiden 2014.
Begitu pula, gagasan pemindahan ibu kota negara memunculkan pertanyaan serupa. Akankah ini bagian dari strategi menuju Pilpres 2019? Sbab, Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan pemerintah ingin melibatkan partisipasi swasta sehingga APBN tidak banyak terbebani. Ketua MPR, Zulkifli Hasan seolah-olah mencium aroma tidak sedap lewat tanggapannya,"Bisa jadi skandal. Ya kan? Ada apa. Publik akan tanya, kalau pindah ibu kota ya pemerintah dong," kata Zulkifli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (7/7/2017 - Kompas.com).
Pasca kekalahan Ahok, Pilkada DKI 2017 meninggalkan image tidak menguntungkan terhadap kepemimpinan Jokowi dan PDIP selaku partai penguasa. Di samping sentimen keagamaan yang memuncak melalui demonstrasi 212, PDIP tampak gagal menunjukkan eksistensinya sebagai partai wong cilik. Sontak, kekalahan PDIP di dua provinsi DKI Jakarta dan Banten menyurutkan langkah partai berlambang kepala banteng itu untuk menguasai Pulau Jawa. Fakta tersebut menyulitkan Jokowi dan PDIP guna mengembalikan kepercayaan masyarakat di kandangnya sendiri jelang Pileg dan Pilpres 2019.
Lagipula, tidak ada urgensi pemindahan ibu kota. Isu pemindahan ke luar Jawa dapat menuai sentimen non-Jawa yang terpupuk akibat pembangunan sentralistik pada masa Soeharto. Tapi, alasan pemerataan pembangunan menjadi tidak logis (absurd) untuk memindahkan ibu kota. Jika pemerintah pusat menggunakan argumentasi tersebut, keraguan akan pembangunan yang berkeadilan tidak seta-merta terbantahkan. Pemerataan pembangunan tidak tergantung pada kedudukan geografis suatu ibu kota, melainkan tercermin dari kebijakan yang mentransformasikan keadilan sosial. Perspektif sejarah, sosial budaya, ekonomi, dan pertahanan keamanan juga merupakan aspek-aspek fundamental yang mesti dipertimbangkan dalam rangka penentuan lokasi ibu kota negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H