1. Ahok tidak bernaung di bawah koalisi Golkar. PDIP mempunyai track record berseberangan dengan partai berlambang pohon beringin itu. Perubahan haluan politik Golkar merapat ke pemerintah semakin mempertajam perebutan kekuasaan antara keduanya.
2. PDIP mengingkari tradisi partai dengan mengusung calon di luar kadernya tanpa melalui mekanisme internal dalam rangka penjaringan bakal cagub.
3. PDIP tak lagi ideologis, merakyat atau mengadvokasi kepentingan "wong cilik". Dengan demikian, PDIP rela melepas basis dukungan dari kantong-kantong masyarakat pinggiran dan kelompok idealis yang berpihak pada kaum miskin kota.
PDIP menjadi pro konglomerasi dan tidak peka terhadap isu kemiskinan kota. Proyek reklamasi adalah fakta bahwa rezim pembangunan semasa kepemimpinan Ahok tidak bersifat kerakyatan.
4. PDIP terjebak dalam sentimen SARA. Tidak dipungkiri bahwa rencana penggusuran Luar Batang membangkitkan isu agama. Ahok yang sedari awal mengeksploitasi keminoritasannya diperhadapkan dengan warga muslim akibat kebijakan semena-mena tentang penertiban hunian.
Faktanya, PDIP sebagai partai nasionalis memerlukan basis suara kelompok Islam. Ini dibuktikan saat Mega merangkul Hasyim Muzadi pada Pilpres 2004. Hasyim dikenal tokoh fundamentalis di kalangan NU yang berbeda dengan Gusdur yang lebih menonjolkan karakteristik kyai abangan.
5. PDIP menampung pembangkang konstitusi. Kebijakan Ahok dalam pembelian lahan Sumber Waras dan reklamasi di Teluk Jakarta menunjukkan dirinya tidak patuh terhadap Undang-undang. Ia tidak menjalankan sumpah jabatan lepas dari kemungkinan ia bersih atau tersangkut korupsi.
-------------***------------
Artikel terkait:
Ketika Teman Ahok Jadi Bantalan Politik Dua Muka Sang Petahana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H