Ahok memakai istilah preman untuk menggambarkan dirinya sebagai pejabat yang memalak para pengembang. Tepatnya, ia adalah preman resmi karena menggunakan wewenangnya untuk melakukan perjanjian dengan pengembang sebagaimana disebutkan dalam Berita Acara Rapat Pembahasan Kewajiban Tambahan tertanggal 18 Maret 2014 di ruang kerja kantornya saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta. Namun, tidak serta-merta kedudukan dan wewenangnya menjamin legalitas dari perjanjian itu.
Terdapat unsur penyalahgunaan wewenang karena Ahok menyalahi peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik. Ia seenaknya menafsirkan diskresi yang melekat pada jabatannya selaku pemangku kebijakan publik. Bahkan, ia mengatasnamakan kedudukannya sewaktu menjabat wakil gubernur untuk membuat perjanjian bisnis dengan pengembang.
"Kalau perjanjian itu kan kamu suka sama suka, berarti kuat dong. Kerjasama bisnis kok," kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (13/5) –Detik.com
Padahal, pemerintah tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya seperti dikemukakan dalam dalam diskusi terbuka "Pengelolaan Uang Negara Untuk Kesejahteraan Rakyat," di Kampus Universitas Pancasila, Jakarta, Kamis (17/12/2015). Apabila pemerintah ingin berbisnis, harus dilakukan oleh badan usaha yang dimilikinya, yakni BUMN dan BUMD. Pemerintah adalah badan hukum publik, sehingga tidak memenuhi syarat dalam hubungan keperdataan. Karena itu, tugas pokok pemerintah tetap pada porsinya untuk mengelola keuangan negara demi kepentingan rakyat.
Adapun pemerintah dapat melakukan perjanjian yang dibentuk oleh kewenangannya sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan (2) UU No. 32 tahun 2004 Pasal 195.
Pasal 195
 (1) Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat
 mengadakan kerja sama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan.
(2)Â Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwujudkan
 dalam bentuk badan kerja sama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama.
Bab I Ketentuan Umum pada Pasal 1 menjelaskan bahwa Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apakah pihak pengembang yang terlibat dalam perjanjian tersebut mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat? Tidak!
Yang terjadi justru sebaliknya dalam perjanjian Ahok dan empat pengembang. Ahok malah membisniskan rencana kontribusi tambahan dari komersialisasi lahan di pulau reklamasi dengan pengadaan proyek yang dikerjakan oleh empat perusahaan meskipun di antaranya ialah BUMD DKI (PT Jakpro) yang dikuasakan kepada Ariesman Widjaja (?), tersangka suap raperda reklamasi. Perjanjian ini mendasari kebijakannya untuk menerbitkan izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi bagi pihak pengembang.
"Coba lihat yang enggak mau setuju dengan saya, saya terbitkan saya sambungin enggak? Enggak. Bahkan yang sudah ada perjanjian saya suruh lelang dulu," katanya (13/5) -Detik.com