[caption caption="Ahok tuding BPK ngaco. Foto: Tribunnews"][/caption]Pemanggilan Ahok ke KPK (12/4) diwarnai pendapat beragam oleh publik. Bagi mereka yang mendukung Ahok, kehadiran Gubernur DKI di kantor lembaga antirasuah itu digambarkan sebagai sikap berani untuk jujur. Agaknya citra BTP (Bersih, Transparan, dan Profesional) terlalu dipaksakan. Sebab, Ahok memang wajib datang memenuhi panggilan. Entah pengakuannya jujur atau tidak, hanya ia dan penyidik yang tahu. Toh, Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tidak dipublikasikan.
Tampak reaksi pendukung Ahok tidak berbeda dengan Ahok sendiri yang begitu enteng menuduh BPKngaco. Padahal, audit investigatif BPK diminta oleh KPK dan hasil laporannya bersifat rahasia. Ahok tidak punya dasar atas tuduhannya itu, apalagi menuding ada oknum di KPK. Tak patut berspekulasi ada kriminalisasi jika alat-alat bukti kelak masih diuji di pengadilan.
"Mau kriminalisasi Ahok (Basuki) kali, ada oknumnya," kata Basuki di Balai Kota, Selasa (8/12/2015) -Kompas.com
Semua pihak yang pro dan kontra terhadap pemanggilan Ahok, perlu berpikir seksama terkait kasus Sumber Waras yang berproses cukup lama di KPK. Kasus ini berawal dari pengaduan masyarakat sejak era kepemimpinan KPK jilid III. Pengaduan yang masuk tidak lantas ditindaklanjuti oleh penyidik KPK. Lagi-lagi ditegaskan bahwa KPK menganut asas akuntabilitas, sehingga sepak terjang penyidik KPK harus dipertanggungjawabkan kepada publik. Setiap kasus juga langsung di bawah pengawasan komisioner.
Sebaliknya, Ahok tidak seyogyanya merespon negatif ketika KPK mengusut kasus Sumber Waras. Bukankah selama ini ia suka menantang orang yang menolak kebijakannya ke pengadilan? Respon negatifnya itu malah menunjukkan inkonsistensi dan nyali kecil. Kalau bersalah, percuma reaksioner menghadapi KPK yang berisi penyidik-penyidik handal. Justru, Ahok bakal diuntungkan jika ternyata tidak bersalah. Rakyat bisa menilai.
"Makanya gue juga pengen tahu mereka tanyanya apa. Kalau saling menuduhkan nanti kesannya gak profesional. Di KPK kan ada oknumnya saya juga gak tahu," tuturnya. (12/4/2016) -Merdeka.com
Sejauh ini, publik menanti-nanti perkembangan kasus Sumber Waras. Mungkin sebagian was-was dan lainnya penuh kegeraman. LSM MAKI termasuk kelompok yang tidak sabar menunggu kelanjutan proses pengusutan di KPK, dan berharap kasus lekas dinaikkan ke tingkat penyidikan. Mereka bernafsu mengajukan gugatan praperadilan sekalipun pernah kalah. Penyidik KPK kesal dibuatnya karena bosan meladeni mereka. Jika semangat mereka itu bagian dari pengawasan publik, ya, okelah. Jangan sampai mengganggu obyektivitas penyelidikan yang sedang berlangsung.
Adanya pengaduan masyarakat yang terus mengalir dengan membawa data atau dokumen, penyidik dapat menemukan bahan pertimbangan untuk melakukan penyelidikan. Itu adalah hasil kerja tim bukan perorangan. Kemudian, saksi-saksi dihadirkan guna dimintai keterangan. Para saksi tidak sembarang dipilih, artinya penyidik telah menyisir segala kemungkinan keterkaitan.
Dengan memulai penyelidikan, KPK sebenarnya telah mendapati indikasi korupsi. Indikasi lho, bukan korupsinya. Indikasi merupakan dugaan awal akan pelanggaran hukum yang bisa bersumber dari pengaduan masyarakat, media massa, dan informasi intelijen. Kontroversi pembelian lahan RS. Sumber Waras memicu polemik berkepanjangan, maka wajar KPK menaruh perhatian.
Indikasi korupsi menyasar peristiwa hukum baik perdata, pidana, maupun tata administrasi. Dan, fokus penyelidikan terletak pada pelanggaran atau perbuatan yang diduga melanggar hukum. Mantan Wakil Ketua KPK, Zulkarnain mengakui bahwa kasus Sumber Waras mengandung indikasi korupsi. Jika kasus itu ditelusuri prosesnya, banyak hal terungkap dan terbagi dalam beberapa peristiwa antara lain:
Pertama, pertemuan antara Gubernur DKI dan pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras (YKSW) terkait penawaran penjualan lahan RSSW.
Kedua, pembahasan Rancangan APBD Perubahan 2014 hingga persetujuan mendagri.
Ketiga, disposisi Gubernur DKI ke Bappeda agar SKPD Dinas Kesehatan mengadakan anggaran pembelian lahan RSSW.
Keempat, transaksi jual-beli antara Pemprov DKI dan YKSW serta pembuatan AKTA Pelepasan Hak atas tanah oleh notaris.
Kelima, pengambilalihan lahan RSSW.
Dalam tiap-tiap peristiwa hukum dapat ditemukan indikasi atau dugaan pelanggaran. Peristiwa pertama tidak diketahui secara detil, tapi peristiwa kedua sampai kelima bisa dikaji oleh publik. Banyak media menyuguhkan data-data tentang semua itu meskipun harus diseleksi dan dicek ulang. Karena itu, amat disayangkan ketika pendukung Ahok tidak mampu beradu data dalam argumentasi mereka.
Sementara, saya melihat dugaan pelanggaran berawal dari proses pembahasan APBD-P 2014. Mendagri memberikan catatan kepada Pemprov DKI supaya mengevaluasi rencana pembelian RSSW untuk membangun rumah sakit khusus kanker. Pemprov mengabaikan evaluasi mendagri dan tetap mengalokasikan anggaran sebesar 800 milyar. Selanjutnya, anggaran tersebut dibayarkan kepada YKSW dalam transaksi jual-beli lahan RSSW yang berstatus HGB. Padahal, masa berlaku HGB hampir habis tahun 2018 dan lahan yang dibeli adalah tanah negara.
Gambaran beberapa peristiwa hukum di atas merupakan bagian dari kronologi kasus Sumber Waras. Sepertinya itu tidak mungkin terabaikan oleh KPK dan membuat penyelidikan dihentikan. Penyidik KPK niscaya memiliki sumber data yang akurat. Hanya tinggal menemukan mens rea (niat jahat), sehingga unsur perbuatan melawan hukum (tindak pidana) terbukti dan tidak sebatas pelanggaran administratif. KPK punya strategi untuk meloloskan perkara sampai ke pengadilan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H