Aspek Politik
Konstitusi menjamin kemerdekaan warga negara untuk berserikat dan berkumpul, tetapi tragedi menimpa masyarakat yang dianggap beraliansi ke partai komunis. Pemerintah orde baru dan kekuatan militer membunuh dan mengusir warga etnis Tionghoa (Baca: Peristiwa Mangkok Merah di Kalimantan Barat dan pemberantasan Paraku-PGRS). Stigmatisasi “pro-komunis” pasca Gestapu berbuntut pembantaian dan penahanan orang-orang yang dituduh simpatisan PKI. Selama Soeharto berkuasa, eks-tapol dan keturunan anggota PKI tidak diberikan hak kewarganegaraan yang sama dengan lainnya. Ini adalah bentuk negara sebagai teror kepada rakyatnya sendiri.
Diskriminasi etnis dan pilihan politis sudah umum dijumpai pada waktu itu. Pancasila dipakai untuk kamuflase oleh pemerintahan yang otoriter. Otoritarianisme menandakan dominansi militeristik dalam pemerintahan sipil. Tak heran jika dulu ada satire “di zaman Belanda banyak gubernur jenderal, di zaman Soeharto banyak jenderal jadi gubernur”. Keterlibatan pimpinan militer sebagai bupati dan gubernur dapat mengendalikan kegiatan politik masyarakat dan mobilisasi massa dalam pemilihan umum.
Semasa rezim Soeharto, tidak tampak euforia masyarakat yang haus akan sumber informasi. Pers kala itu tidak leluasa untuk memberitakan kabar yang berseberangan dengan pemerintah. TVRI sebagai satu-satunya media televisi yang diakses publik tidak lebih dari sekedar corong pemerintah, maka wajar jika awam tidak mengetahui kondisi nasib bangsanya secara menyeluruh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI