Mohon tunggu...
Labuda Shofiya
Labuda Shofiya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

History enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Penurunan Muka Tanah dan Banjir Demak, Akankah Selat Muria Kembali Eksis?

23 Agustus 2024   08:15 Diperbarui: 23 Agustus 2024   08:29 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bentang Sawah (atas)(Sumber: dokumentasi pribadi oleh peneliti, 2023)

Fenomena banjir Demak tidak hanya mendorong masyarakat berfokus pada kerugian yang dialami, namun juga kekawatiran akan kondisi Demak pada masa yang akan datang. Pembahasan di dunia maya memperlihatkan kemunculan ragam asumsi akan perubahan area Demak dan sekitarnya yang dahulu memang pernah berada dibawah permukaan laut.  Tidak hanya itu, banjir Demak juga mendorong kembali ramainya diskusi publik mengenai penurunan muka tanah, baik karena penggunaan air tanah maupun juga krisis iklim.

Daerah di kaki Gunung Muria sejatinya memang mengalami perubahan geosfer dari selat (Muria) menjadi daratan. Hasil penelitian yang membuktikan fakta tersebut salah satunya dikemukakan Aisyah dan tim (2017) dalam Determination and radiocarbon dating of marine mollusc fossils in ancient sea shelf of Central Java Indonesia Determination and Radiocarbon Dating of Marine Mollusc Fossils in Ancient Sea Shelf of Central Java Indonesia. Fakta ini menjadi salah satu factor dari kuatnya asumsi atau ketakutan public bahwa Demak pun akan kembali menjadi lautan atau tenggelam. Kian kuat, asumsi tersebut juga didasarkan pada cukup tingginya penurunan muka tanah di beberapa daerah bekas Selat Muria. Misalnya di area sekitar pesisir Kabupaten Demak, yakni di Kecamatan Sayung yang diperkirakan mengalami penurunan muka tanah hingga 7,43 cm/tahun dengan rata-rata 3,09 cm/tahun. Tingginya angka penurunan juga disebabkan jenis tanah di wilayah Demak dan sekitarnya tersusun dari endapan aluvial, sehingga penurunan muka tanah menjadi fenomena yang tidak dapat dihindari.

Meskipun banjir Demak tidak ditemui berhubungan secara langsung dengan kembali tenggelamnya area bekas Selat Muria, namun ancaman bencana pun tetap menghantui masyarakat. Penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut tentunya akan memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kehidupan masyarakat Jawa Tengah, mengingat wilayah bekas Selat Muria tersebut saat ini tidak hanya berupa bentang sawah dan rawa yang terlihat mengering, tetapi juga berubah menjadi kawasan pemukiman. Secara spesifik di tiga kabupaten, yakni Demak, Kudus, dan Pati. 

Bentang Sawah (atas)(Sumber: dokumentasi pribadi oleh peneliti, 2023)
Bentang Sawah (atas)(Sumber: dokumentasi pribadi oleh peneliti, 2023)
Rawa yang Mengering di Kabupaten Kudus(Sumber: dokumentasi pribadi oleh peneliti, 2023)
Rawa yang Mengering di Kabupaten Kudus(Sumber: dokumentasi pribadi oleh peneliti, 2023)

Oleh karenanya upaya mitigasi bencana yang mungkin terjadi seiring dengan penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut perlu melibatkan berbagai pihak, termasuk para pengambil kebijakan. Penting pula dalam proses mitigasi juga memperhatikan ketahanan atau resiliensi masyarakat yang bermukim di sekitar area bekas Selat Muria terhadap kondisi krisis yang disebabkan oleh perubahan iklim atau bencana alam. Guna membangun suatu ketahanan masyarakat, Petzold dan tim (2020) dalam penelitiannya menawarkan dan menegaskan bahwa sistem dan praktik pengetahuan adat diakui sebagai sumber daya utama untuk mendukung terciptanya adaptasi perubahan iklim. Paparan Petzold selaras dengan penjelasan Hiwasaki, Luna, dan Shaw (2014) bahwa kearifan lokal yang masih dipraktikkan atau diwarisi oleh sebuah komunitas dapat membantu mereka membangun resiliensi karena berbagai kearifan lokal tersebut dapat memberikan kekuatan psikis dan batin yang membuat masyarakat menjadi Tangguh atau resilience.

Sistem dan praktik kearifan lokal yang dimaksud pada penjelasan di atas salah satunya adalah toponimi. Ragam pengetahuan lokal seperti toponimi diketahui dapat berperan membantu masyarakat memahami resiko (bencana) di masa mendatang karena didalamnya memuat informasi mengenai kondisi lingkungan (jenis tanah, vegetasi, kenampakan, dan sebagainya) sehingga dapat dimanfaatkan pula untuk meningkatkan kesadaran kesiapsiagaan bahkan merencanakan langkah mitigasi yang strategis.

Hasil studi toponimi masyarakat Selat Muria, juga dapat membantu policy makers untuk menilai dan memilih pengetahuan yang akan diadaptasikan atau diintegrasikan ke dalam teknologi maupun infrastuktur mitigasi. Senada dengan argumen di atas, Guimbatan-fadgyas (2021), Hiwasaki, Luna, & Shaw (2014), serta Dwitriansyah (2024) juga menemukan bahwa studi toponimi mengandung informasi mengenai komunikasi (masyarakat lokal) dalam mitigasi bencana. Hal ini dikarenakan pengetahuan mengenai toponimi dan kosakata yang mendefinisikan peristiwa alam, sehingga dapat dijadikan informasi untuk mengetahui kesiapan dalam mengurangi risiko bencana, serta ketahanan masyarakat dari suatu periode tertentu.

Rujukan

Aisyah, S., Pringgenies, D., Hartoko, A., Sumantyo, J. T. S., & Matsuzaki, H. (2017). Determination and radiocarbon dating of marine mollusc fossils in ancient sea shelf of Central Java Indonesia Determination and Radiocarbon Dating of Marine Mollusc Fossils in Ancient Sea Shelf of Central Java Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.

Andreas, H., Abidin, H. Z., Sarsito, D. A., & Pradipta, D. (2018). Adaptation of ‘early climate change disaster’ to the Northern Coast of Java Island Indonesia. ENGINEERING JOURNAL, 22(3), 207–219.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun