Tema seperti ini tidak akan berhenti saya gaungkan. Alasan saya sangat sederhana, sudah cukuplah politikus-politikus negara ini yang begitu mudah nasionalismenya terguncang dan justru hanya memikirkan kelompok elit mereka dan demi keuntungan mereka. Dengan kesombongan mereka, mereka mempermainkan kepercayaan masyarakat yang telah mengangkat mereka. Lebih dari itu, kata ‘hukum’ dari frasa Indonesia yang katanya ‘negara hukum’ pun mereka permainkan.
Pada kamis, 4 Februari lalu Setya Novanto memenuhi panggilan Kejaksaan Agung sebagai saksi. Ia membantah kebenaran rekaman yang mengidentifikasikan adanya pemufakatan jahat antara ia, Maroef dan Riza Chalid. Kita semua tahu bahwa kasus ini sudah melayang-layang diberbagai media nasional sejak Desember lalu. Hingga kini pun kasus ini masih berjalan, tanpa adanya bukti!
Berbulan-bulan lamanya kasus ini masih dalam masa penyelidikan. Bahkan pada 9 atau 10 Februari nanti Kejagung akan kembali memanggil Setnov untuk dimintai keteranggannya. Terus-menerus berjalan di tempat. Lagi dan lagi hanya mencari keterangan. Kasus ini begitu menyita perhatian Kejaksaan Agung sehingga fokus Kejaksaan Agung kepada hal-hal penting yang menyangkut harga diri bangsa menguap entah kemana. Hal tersebut ialah mengenai masalah perpanjangan kontrak Freeport.
Kejaksaan Agung sebagai salah satu tonggak hukum justru mengkhianati bangsa dengan mengesampingkan masalah kontrak Freeport dan justru asik bermain-main dengan menyudutkan Setya Novanto.
Kasus-kasus yang mencuat karena adanya konspirasi antar elit politik dan pihak asing selalu berakhir dengan ketidakjelasan. Bahkan sejak Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret) pun masih menjadi rahasia dan masyarakat belum mengetahui kepastiannya. Lalu jika kita melirik beberapa tahun lalu berkaitan dengan adanya persekongkolan antar elit bangsa dan pihak asing melalui kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Akan tetapi sebelum kasus-kasus seperti itu berakhir, selalu ada pola yang mengarahkannya pada ketidakjelasan.
Pola tersebut sangat jelas, yang paling jelas ialah Kejaksaan Agung yang terus-menerus berfokus pada kasus yang tidak berkembang dan seharusnya dihentikan. Lalu yang lainnya ialah semenjak dibentuknya Panja Freeport oleh Komisi III DPR RI. Komisi III yang sudah ‘dipegang’ oleh Setnov akan membawa kasus ini ke ranah politik dan jika berhasil akan menjadi alat balas dendam Setnov. Maka yang akan terjadi ialah fokus pemerintah kita terpecah belah. Dan ya, Indonesia lagi-lagi dipecundangi oleh pihak asing. Berkaitan dengan Freeport, mereka adalah Amerika dan CIA.
Yang saat ini negara kita butuhkan ialah Pansus, bukan Panja!
Beberapa Panja yang pernah dibentuk oleh Komisi III DPR sebelumnya ialah Panja-panja yang tidak jelas. Hal ini berdasarkan keterangan dari salah satu anggota Komisi III sendiri. Berbagai panja yang dibentuk kerjanya tidak jelas dan tidak ada petunjuk operasional.
Sejak awal memang Pansus lah yang diusulkan untuk dibentuk. Pansus merupakan sinergi kekuatan antara DPR dan Presiden Jokowi dalam upaya menasionalisasi Freeport yang kondisinya sedang melemah Panja hanya berfokus pada kasus ‘papa minta saham’ dan memecah keutuhan DPR. Yang harus dilakukan saat ini ialah DPR membubarkan Panja yang dibentuk oleh Komisi III dan menyatukan kekuatan untuk membentuk Pansus demi masa depan Indonesia.
Sumber: