Setiap manusia di Dunia ini mempunyai banyak inginan dalam hidupnya, tapi apakah keinginan-keinginan tersebut berbanding lurus dengan kebutuhannya ?
Minggu siang di sebuah warung kopi dalam kawasan jalan Pettarani Makassar, saya bersama seorang kawan membuat janji untuk ngopi bareng, sudah sepuluh tahun lamanya kami tak pernah lagi bertemu setelah menyelesaikan pendidikan di bangku SMA dulu. Kawan saya itu bernama Farid, dengan perawakan besar, kulit sedikit hitam dan perutnya yang buncit. Ternyata setelah menyelesaikan pendidikannya saat SMA dulu, ia berangkat ke Kalimantan menyusul kakaknya yang telah berhasil menjadi pengusaha bawang disalah satu pasar besar di tanah Borneo. Bagi kami masyarakat Bugis Makassar, merantau adalah salah satu tradisi, sebuah tradisi yang sudah lama dilakukan oleh nenek moyang kami jauh sebelum Islam masuk di tanah Sulawesi. Tahun 2004 selepas menyelesaikan SMA, Farid berangkat ke Kalimantan dengan dijanjikan modal usaha oleh sang kakak. Hingga saat ini sudah banyak jenis usaha yang Farid kerjakan di tanah yang kaya akan hasil alam itu. Saat kali pertama sampai di tanah Borneo, Farid memulai bisnisnya dengan berjualan sayuran, karena memiliki banyak saingan yang bermodal besar bisnis sayurannya pun gagal total, selanjutnya ia mencoba peruntungan pada bisnis ayam potong, dan bisnis itu pun juga tidak bertahan lama. Nanti pada pertengahan tahun 2009 ia melirik bisnis penjualan gas elpiji, barulah bisnisnya tersebut bisa bertahan lama hingga saat ini. Siang itu dengan menikmati segelas kopi, kami memulai pertemuan tersebut dengan obrolan-obralan ringan, obrolannya pun hanya seputar momen-momen yang tak bisa kami lupakan saat kami masih satu sekolah di kampung, dulu. Kami berdua memang terkenal badung terhadap teman-teman sekolah dulu, cerita-cerita inilah yang membuat siang itu menjadi ritual tawa yang sudah lama tidak kami lakukan berdua. [caption id="" align="alignnone" width="780" caption="Elpiji - Foto by kompas.co.id"][/caption] Ketika beranjak sore, televisi yang tepasang di dinding warung kopi itu menyiarkan sebuah berita dari salah satu stasiun televisi swasta, berita itu berhubungan dengan bisnis Farid di Kalimantan “Kenaikan Harga Gas Elpiji 12 Kg Buat Resah Konsumen dan Agen Penjual”. Setelah melihat berita itu dengan spontan saya melemparkan kalimat pada teman lama saya itu “sepertinya ada pengusaha elpiji yang akan gulung tikar lagi nih” dengan logat khas Makassar saya. Dengan tersenyum Farid menyeruput kopinya yang sudah dingin sedari tadi, sambil membakar rokok kreteknya. Mungkin bagi kami pengusaha gas elpiji tidak akan kehabisan konsumen hanya karena kenaikan harganya, saat ini gas sudah menjadi kebutuhan pokok bagi setiap orang di kota-kota besar, sama halnya dengan listrik. Sebenarnya program non subsidi untuk gas ini akan berdampak sangat baik untuk warga miskin, kamu sendiri dari kampung, tahukan kalau di kampung hampir sebagian penduduk kelas bawah hanya menggunakan kayu bakar untuk memasak. Jelas Farid sambil kembali mengangkat gelas kopinya yang sisa sepertiga gelas itu. Bukannya karena kenaikan gas elpiji itu nantinya akan mempengaruhi harga-harga kebutuhan pokok juga ? dan lagian siapa yang bisa menjamin pengalihan subsidinya nanti tepat guna bagi warga miskin. Tanya saya membuka diskusi sore itu bersama Farid. Sebenarnya pernyataanmu ada benarnya juga dan pertanyaan itu adalah keinginan banyak orang di Negeri ini, tapi kebutuhan kebanyakan warga di Negeri ini juga jauh lebih banyak ketimbang itu. Kebanyakan warga kita hanya melihat problemnya hanya dari satu sisi saja, dan mereka pun tidak memikirkan dengan baik dampak apa yang akan terjadi nantinya bila itu benar-benar terealisasi. Jawab Farid. Jika hal itu ditanyakan pada personal saya, saya sangat setuju dengan program elpiji non subsidi, kita realistis, kebanyakan yang memakai elpiji untuk kebutahan hariannya adalah mereka yang sudah mapan atau dengan kata lain kelas menengah ke atas, sedang yang kelas bawah seperti dipelosok-pelosok kampung masih banyak memakai kayu bakar. Yang penting, bagaimana warga nantinya bisa ikut andil dalam penyebaran subsidi elpiji tepat guna, yah kamu tahu sendirikan mayoritas pemimpin kita di Negeri ini seperti doktor sunat, selalu menyunat dana-dana warga miskin yang membutuhkan. Jelas Farid memberikan komentarnya tentang elpiji non subsidi. Subsidi elpiji ini seperti perihal jodoh saja yang dijanjikan Tuhan, memberikan berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Timpal saya dengan tawa lepas. Setelah menghabiskan berjam-jam waktu di warung kopi itu bersama Farid, kami pun bergegas kesebuah tempat untuk memberikan subsidi bagi cacing-cacing perut kami yang sudah berontak se dari tadi, saya membawa Farid di sebuah tempat kuliner khas Makassar yang sudah lama tak ia cicipi. Hari itu ia menghabiskan 2 mangkuk pallubasa dengan alas kuning telur ayam kampung. Saat hendak pulang Farid berkata kepada saya "semoga subsidi pallubasa tadi tepat sasaran dan merata di dalam sini." sambil mengusap-usap perutnya yang buncit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H