Mohon tunggu...
Ahmad MA
Ahmad MA Mohon Tunggu... -

blogger yg jarang update | traveller kere | jazz | senja | fotografer dadakan | google wannabe | Blogger Anging Mammiri Makassar | dari timur indonesia | www.bebmen.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Penyakit Pesisir di Kampung Sehat?

3 Mei 2015   05:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:26 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_414560" align="aligncenter" width="480" caption="dok. pri"][/caption]

“Ada sebuah hal yang menarik, coba cari tau kenapa orang Bugis gemar merusak lingkungan?” ujar seorang teman saat membuka diskusi kecil yang kami lakukan di Kampung Buku (@kampung_buku) beberapa bulan yang lalu. “Yah manuskrip yang orang Bugis sakralkan pun, La Galigo memaparkan demikian, jauh sebelum hutan Kalimantan dibabat habisi oleh orang-orang Bugis perantau di sana, bagaimana dalam manuskrip tersebut sebuah pohon besar, Welenreng yang terletak di muara Sungai Mangkuttu ditebang oleh pangeran kerajaan yakni Sawerigading untuk dijadikan kapal besar menuju Cina bertemu We Cudai sebagaimana yang disarankan We Tenriabeng.” Lanjut teman melengkapi argumen pembukanya tersebut. Dikisahkan pada manuskrip klasik La Galigo milik suku Bugis, Welenreng pohon paling besar dan suci yang ukuran lingkaran batangnya tujuh ribu depa (kbbi: ukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan) dan tingginya tiga ribu depa tersebut, saat tumbang dipatahkan ego sang sang pangeran Kerajaan Luwu memiliki dampak yang sangat besar terhadap lingkungan sekitarnya. Sarang-sarang burung di atas pohon tersebut berhamburan, pohon-pohon kecil di sekitarnya patah tertimpah, serta sungai-sungai dekat pohon tersebut menjadi kering akibat hempasan Welenreng yang keras saat jatuh ke tanah.

***

Tiga kapal fiber putih dengan kekuatan penuh membela arus yang melintasi laut losari, pagi itu saya mewakili Komunitas Blogger Makassar ikut dalam rombongan aksi transplantasi terumbu karang yang akan dilaksanakan di Pulau Badi, Kec. Mattirodeceng - Kab. Pangkajene Kepulauan. Untuk waktu normal dari Makassar, jarak tempuh dengan menggunakan kapal penumpang jenis kayu yang setiap hari pulang-pergi dari pulau tersebut yakni sekitar 1 – 1,5 jam, sedang menggunakan kapal fibel dengan kekuatan 350 cc yang kami gunakan hanya ditempuh dengan waktu 20 menit.Ini kali pertamanya saya berkunjung ke pulau yang memiliki 400 kepala keluarga tersebut, pulau yang menyambut pengunjungnya dengan dermaga kayu panjang serta papan selamat datang yang disponsori salah satu lembaga nirlaba bertuliskan “Kampung Sehat” tepat di pertemuan pasir pantai dan kayu dermaga pulau tersebut. Aksi transplantasi terumbu karang pada tanggal 18 April 2015 dilaksanakan oleh Mars Symbioscience yang dipimpin langsung oleh Direktur Marine Sustainability, Noel Janetski. Mars adalah salah satu produsen makanan terkemuka di dunia yang berkantor pusat di McLean – Virginia, perusahaan tersebut memproduksi coklat, permen serta memiliki produk makanan hewan, kucing dan anjing. [caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="dok. pri"]

[/caption]

Sesampai di pulau tersebut, Noel Janetski memperkenalkan kepada media, komunitas serta blogger bagaimana sistem transplantasi yang mereka gunakan selama ini. Transplantasi terumbu karang sudah dilakukan sejak tahun 2007 di pulau tersebut, tapi baru pada awal tahun 2013 Mars Symbioscience menemukan transplantasi terumbu karang dengan struktur laba-laba dengan melalui berbagai uji coba dan riset. ujar pria berkumis kelahiran Australia tersebut menjelaskan pada media siang itu. [caption id="" align="aligncenter" width="700" caption="dok. pri"]

[/caption]

Bermodalkan pengalaman saat mengunjungi PPLH Puntondo - Takalar serta aksi konservasi Taman Nasional Takabonerate tahun 2014 lalu, saya sedikit tahu beberapa model transplatasi untuk terumbu karang. Sistem transplantasi terumbu karang dengan stuktur laba-laba memang adalah sistem transplantasi yang selama ini baru saya lihat. Ketika dijelaskan struktur laba-laba memiliki 6 kaki sebagai penyangga dan berbentuk seperti jala laba-laba bila terlihat dari atas, bayangan saya sontak berpikir sistem ini paling hanya seperti transplantasi yang sering orang gunakan. Tapi ketika Mr. Noel memperlihatkan dan menjelaskan secara langsung, ternyata besi-besi yang berbentuk jaring laba-laba tersebut dilapisi anti karat dan pasir laut dan saat demo pemasangannya, sontak pikir saya yang tadinya biasa saja menjadi optimis bahwa transplantasi terumbu karang ini akan berdampak baik bagi warga pulau tersebut. Dua hari sebelumnya, kami sudah melakukan transplantasi terumbu karang laba-laba sebanyak 300 buah, hari ini kita akan memasang sekitar 200 buah lagi. Yah masih jauh dengan target Mars Symbioscience yang ingin memasang sekitar 4.000 – 5.000 transplantasi terumbu karang, Ujar Mr. Noel. Untuk 1 buah struktur laba-laba sendiri dapat menghabiskan dana sekitar $20. Sambung pria Autralia yang gemar melucu tersebut saat menjelaskan kepada media. **** Pola pikir Sawerigading dari kisah manuskrip La Galigo sebelumnya, sepertinya terus berlanjut hingga anak cucunya saat ini, dengan dikolaborasikan watak saudagar Bugis yang berkembang saat jalur perdagangan internasional di abad 18 melalui Makassar. November tahun 2014 kemarin saya ikut dalam aksi konservasi yang diadakan oleh Balai Taman Nasional Takabonerate, kami mengunjungi 7 pulau yang dihuni dalam kawasan taman nasional tersebut. Di semua pulau yang masuk dalam kawasannya mempunyai masalah yang sama, yakni terumbu karang di sekitar pulau-pulau tersebut sudah dirusak bom dan racun penangkap ikan. Yah lagi-lagi mayoritas warga penghuni pulau-pulau di kawasan Takabonerate adalah suku Bugis Sinjai yang sudah lama berpindah saat pemberontakan DITI, permasalahan itu pun yang terjadi di pulau badi. Saat Mr. Noel menjelaskan mengenai mekanisme yang harus dilakukan saat pemasangan transplantasi, saya mundur dari kerumunan untuk berteduh bersama warga ditempat yang agak rindang siang itu. Sambil membakar sebatang rokok, seorang pria kurus dengan mengenakan topi yang terbuat dari daun nipa/kelapa melintas dan berhenti tepat di samping saya berteduh, pria itu bernama Daeng Nuralim – 48 tahun, warga asli pulau Badi dengan pekerjaan sebagai nelayan serta bekerja untuk transplantasi terumbu karang Mars Symbioscience di pulau tersebut. Sambil menawarkan sebatang rokok, “kalau ombak tinggi dan tidak bisa melaut, apa yang menjadi pekerjaan sampingannya daeng?” dengan logat Makassar kental saya bertanya pada Daeng Nuralim. “bila tidak melaut, mengerjakan laba-laba untuk beliau menjadi sampingan” ujarnya singkat. Sejak tahun 2013 ia sudah mulai ikut mengerjakan laba-laba, dengan imbalan Rp. 70.000 – Rp. 100.000 / harinya. Setelah selesai bertanya-tanya pada Daeng Nuralim dan menghabiskan sebatang rokok, saya kembali mundur ke tempat berkumpulnya warga yang menyaksikan demonstrasi Mr. Noel. “wah bagus kalau begini, nanti pulaunya sudah dipenuhi karang-karang dih?” tanya saya. Sontak beberapa warga yang berkumpul di sekitar menjawab “iya, nanti banyak lagi ikannya”. Setelah menjawab seperti itu yang ada di kepala saya, semoga mereka tidak menghancurkannya lagi hanya karena kembalinya ikan-ikan dekat dengan terumbu karang. Pulau badi memiliki sekolah SD hingga SMP saja. Bila ada yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMA, mereka harus menetap di Makassar atau menumpang tinggal di rumah sanak keluarga mereka di daerah-daerah yang memiliki sekolah SMA. Menurut anak pak Imam Mesjid (saya lupa menanyakan namanya), mulai sejak 10 tahun terakhir ini di pulau tersebut sudah banyak warga melanjutkan jenjang pendidikannya hingga ke bangku kuliah. Tahun ini ada 3 warga yang ke Makassar untuk kuliah, selama 10 tahun terakhir warga yang kuliah hanya memilih 2 jurusan saja, yakni jurusan Pendidikan PGSD serta keperawatan, cerita anak pak imam kepada saya. ****** Secara pribadi saya melihat masalah kerusakan-kerusakan terumbu karang yang terjadi baik itu di pulau badi dan pulau-pulau lainnya di Sulawesi selatan adalah sebuah penyakit yang mematikan seperti kanker, transplantasi hanya proses pengangkatan penyakit mematikan tersebut. Yah itu sakit bagi penderitanya dan mau tidak mau mereka harus menanggungnya terlebih dahulu. Setelah pengangkatan penyakit ganas tersebut masih perlu adanya pengobatan-pengobatan lainnya untuk mendukung kesembuhan bagi penderita. Dan yang paling penting penderita harus mengetahui dan mengenal lebih dekat tentang penyakit tersebut. Rasa optimis menghinggapi kepala saya setelah menyaksikan transplantasi terumbu karang yang dilakukan Mars Symbioscience di pulau badi. Banyak harapan disetiap turunnya transplantasi berbentuk laba-laba tersebut di pesisir pulau tersebut. Bila anda ingin ke pulau tersebut, sampaikan salam hangat saya untuk keramahan warga-warga di sana. Bila ada kesempatan saya ingin kembali dan menginap di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun