Mohon tunggu...
Ahmad MA
Ahmad MA Mohon Tunggu... -

blogger yg jarang update | traveller kere | jazz | senja | fotografer dadakan | google wannabe | Blogger Anging Mammiri Makassar | dari timur indonesia | www.bebmen.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Hidup Warga Timor Timur Menuju Gelar Daeng

10 Maret 2014   02:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:06 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Desember 1996, bocah berumur 12 tahun yang bertubuh pendek dan berkulit gelap yang bernama Akau membawa keliling keranjang jualannya di atas kapal penumpang KM AWU yang saat itu lagi berlabuh di pelabuhan dili timor-timur. Karena Akau hanya lancar berbahasa tetun (bahasa timor-timur), ia menjajakan jualannya pada penumpang -penumpang KM AWU dengan bahasa Indonesia yang terbatah-batah. Belum sebulan lamanya ia berjualan di pelabuhan kebanggan kota dili tersebut, karena himpitan ekonomi keluarganya ia terpaksa harus berjualan untuk terus bertahan hidup dan membantu kedua orang tuanya. Kapal berkapasitas 969 Penumpang tersebut pun membunyikan serinenya agar pengantar dari penumpang, buruh angkut dan para pedagang yang masih diatas kapal agar segera untuk turun karena sebentar lagi kapal pelni yang dibuat pada tahun 1991 itu akan segera berangkat ke pelabuhan tujuannya, Ambon. Para ABK kapal dengan sibuk mengontol mesin menggulung, karena tali kapal baru saja dilepas dari pelabuhan dili timor-timur, dengan sedikit terkejut Akau yang sebelumnya menjajahkan dagangannya di dek 1 dekat mesin kapal, tidak sempat lagi melompat ke dermaga pelabuhan. Ia tidak mendengar bunyi sirena kapal karena bisingnya mesin kapal yang sedang dipanaskan, dengan sedikit panik ia berusaha menenangkan kekacauan yang berkecamuk dalam kepalanya. Dengan bermodalkan hasil dagangan Rp. 85.000, bocah 12 tahun itu menerima jalan hidupnya dalam kapal yang membawanya tanpa sengaja dari kampung halamannya menuju ke dermaga tanpa tujuan, Ia tidak tahu lagi harus berhenti di pelabuhan yang mana. Saat KM Awu berlabuh di pelabuhan Ambon ia merasa kota ini tidak cocok untuk hidup barunya, barulah di pelabuhan tujuan ke-dua yakni Makassar ia merasa harus turun karena takut ketahuan pemeriksa tiket kapal saat itu dan hatinya pun merasa ini adalah pelabuhan untuk jalan hidupnya yang baru. Di Makassar Akau tidak mempunyai kerabat atau sanak family, dengan berbekal keterampilannya berjualan bocah 12 tahun tersebut mencoba menjajal pelabuhan Makassar dengan bahasa Indonesia seadanya. Selama 1 Tahun setengah ia melanjutkan hidupnya dengan berjualan di sekitaran pelabuhan dan pasar sentral, tidurnya pun di-dua tempat tersebut. Dengan berbekal pergaulan dari teman-teman sebayanya Akau menjadi banyak tahu tentang Makassar dan sudah lancar berbahasa Indonesia, walaupun kehidupan jalanan yang keras masih sering ia dapatkan. Pertengahan 1997 petugas pelabuhan memperkenalkan Akau pada Bapak Kahar, ia seorang tentara asal Makassar yang saat itu baru pulang bertugas dari timor-timur, Akau menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke Makassar dan bagaimana ia bertahan hidup di kota yang terkenal dengan sirinya yang keras ini. Karena merasa kasihan pada Akau yang saat itu berusia 13 tahun, Kahar pun membawanya ke malino, tempat di mana istri dan kelima anaknya tinggal. Bocah 13 tahun itu dijadikan anak angkat oleh Pak Kahar, Akau dimasukan Islam dan Pak Kahar mengganti namanya menjadi Muhammad Ramadhan Daeng Alle’, nama Muhammad Ramadhan diambil karena saat itu bertepatan dengan bulan ramadhan. Selain dijadikan anak angkat Ramadhan di sekolah bersama ke lima anak gadis oleh pak Kahar. Sambil meminum kopi yang telah saya buatkan, ramadhan kembali bercerita tentang jalan hidupnya.

Ramadhan Dg Alle' (Akau besar)

Pada tahun 1999 ia pernah meminta izin pada pak kahar untuk pulang berjumpa dan bemberi kabar ke orang tuanya di dili timor-timur. saat itu pak kahar mengizinkan ramadhan dan memberikannya biaya untuk ke kampung yang sudah lama ia tinggalkan. Begitu bahagianya sepasang orang tua yang sudah menganggap anaknya hilang saat berjualan di pelabuhan dili tahun 1996 ternyata masih bisa ia lihat. Berselang 2 minggu daeng alle di kampung halaman, kerusuhan timor-timur pun pecah. Kota dili yang menjadi tempatnya kecil dan lahir itu kini mencekam dengan bunyi rentetan tembakan dimana-mana. Seminggu setelah pecahnya kerusuhan Ramadhan Dg. Alle kembali ke Makassar tanpa bertemu lagi orang tuanya yang lagi mengungsi entah kemana. Ia baru kembali mengetahui kabar orangnya dari teman tentara pak kahar setelah 6 bulan selepas ia meninggalkan kota dili yang saat itu lagi mencekam akibat kerusuhan. Sudah 17 tahun lamanya Muhammad Ramadhan Dg. Alle’ menetap bersama keluarga barunya di Makassar, pria asli timor-timur yang mempunyai tinggi sekitar 163cm itu sudah menganggap Makassar sebagai kampung ke duanya selain kampung halamannya di dili timor-timur yang kini bukan lagi bagian dari Negara Indonesia. Walaupun saat ini pak kahar sudah meninggal, ia masih tetap tinggal bersama keluarga barunya itu. “itulah sepenggal perjalanan hidup saya yang kebanyakan orang katanya menyedihkan, tapi bagi saya itu sebuah pelajaran hidup yang tidak mungkin saya lupa” kata ramadhan sambil mengakhiri cerita panjang hidupnya yang tak terduga itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun