Masyarakat Tangerang pada saat ini sedang mengalami kebingungan dan keresahan yang penuh dengan tanda tanya. Fenomena ini disebabkan oleh hadirnya pagar laut dari Desa Muncung hingga Pakuhaji, Tangerang, Banten. Bambu-bambu yang membentuk pagar terbentang sepanjang 30,16 km menjadi isu yang kontroversial. Pasalnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak memberikan izin untuk memagari laut atau membatasi ruang laut. Kejadian ini bisa berakibat dari renovasi gaya ekonomi kapitalisme. Eksploitasi alam hingga manusia terjadi dalam satu peristiwa dan hanya menguntungkan satu pihak tertentu. Kejadian ini mampu ditinjau secara sosiologis. Terutama dengan kelas sosial dan alienasi dari konsep Karl Marx.
Siapa Pemilik Pagar Laut?
Pagar laut yang terbentang di laut Tangerang, belum diketahui secara pasti. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten, Eli Susiyanti, mengungkap pagar tersebut tidak memiliki izin resmi dan juga tidak adanya rekomendasi dari camat atau kepala desa setempat untuk pembangunannya. Melalui ungkapan kepala DKP Banten, jika perbuatan ini sangat jelas melanggar hukum. Eli Susiyanti juga menjelaskan tinggi bambu itu mencapai 6 meter.
Walaupun pemilik pagar laut ini belum diketahui, tidak lepas dari beragam reaksi amarah dari masyarakat Indonesia. Termasuk presiden ke-8, yang langsung mengarahkan Tentara Negara Indonesia (TNI) angkatan laut untuk melakukan proses pencabutan. Dipimpin langsung oleh Komandan Pangkalan Utama AL (Danlantamal) III Jakarta Brigadir Jenderal (Mar) Harry Indarto melakukan pencabutan pagar laut yang berada di Tangerang tersebut. Tak hanya TNI, masyarakat pesisir pula ikut berpartisipasi dalam pencabutan dan pembongkaran pagar tersebut.
Pagar Laut Menjadi Simbol Kapitalisme
Tujuan dari pembangunan pagar laut di Tangerang masih samar. Penuh teka-teki dalam menyingkap pemilik dan tujuannya dalam pembangunan pagar laut. Menurut pengakuan dari warga yang bekerja untuk membangun pagar laut, mereka telah didatangi seseorang pada malam hari untuk memasang bambu-bambu dengan diupahkan Rp. 100.000. Siapa pun orang itu, para pekerja tidak mengenali identitas sosok yang memerintahkan untuk bekerja.
Kegiatan seperti ini adalah bentuk riil dari Kapitalisme. Mereka memerintah dan memberikan upah kepada pekerja sebagai bentuk balasan untuk penyambung hidup para pekerja. Bahkan upah yang diberikan tidak sesuai dengan pekerjaan yang diberikan. Kaum kapitalis menganggap kegiatan ini sebagai kegiatan yang produktif, namun disisi lain para pekerja harus teralienasi oleh hasil kerja mereka. Penghasilan yang tidak terbagi secara merata dan hanya menguntungkan satu pihak. Para pekerja yang dilema atas ketidakmampuannya untuk bersaing dalam dunia ekonomi. Jati dirinya sebagai manusia perlahan berubah seakan-akan serupa dengan mesin yang bekerja tanpa melirik waktu.
Borjuis dan Proletariat
Apabila pembangunan pagar laut ini dianalisis dengan kacamata Karl Marx, dapat dilihat adanya perbedaan kelas. Marx, menyebut kedua kelas ini dengan Borjuis dan Proletar. Borjuis adalah kelas menengah orang-orang yang memiliki modal atau menguasai alat produksi beserta keuntungan. Sedangkan Proletar adalah golongan kelas pekerja yang menjual tenaga kerjanya demi upah yang diberikan. Meninjau dari peristiwa pembangunan tanggul di laut Tangerang, kedua kelas ini terlihat jelas. Salah seorang yang memiliki modal sehingga memiliki kekuatan untuk memperkerjakan para golongan kelas pekerja untuk membangun pagar terbuat dari bambu di laut. Disisi lain, para pekerja yang memasang bambu- bambu sebagai pagar hanya bisa menjual tenaga kerjanya demi upah guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.
para pekerja teralienasi akibat ulah mereka sendiri. Sumber daya yang dimiliki oleh kelas pekerja melekatkannya kepada kelas pemilik modal yang pada akhirnya dieksploitasi, lebih tepatnya pada kapitalisme. Nilai, profit dan eksploitasi yang menjadi fokus utama kapitalisme dalam dunia ekonomi.
Kesimpulan