SUATU kali Presiden RI pertama, Soekarno, agak kesal kepada wartawan. Wartawan kala itu disebut Seokarno dengan pengetahuan dan ilmu jurnalisitiknya yang rendah, makanya perlu di-upgrade (ditingkatkan lebih bermutu dari kondisi sebelumnya-red). “Sering saya menjumpai di dalam tulisan-tulisan ini bahwa wartawan-wartawan Indonesia perlu di-upgrade pengertianya dan pengetahuannya, di upgrade hal technics journalistiek-nya, di upgrade hal pengetahuannya, di upgrade mentalnya terutama sekali mental politiknya, sering saya menjumpai kata kata yang ditulis di dalam surat kabar-surat kabar sekarang ini bahwa nou zeg,” kata Soekarno seperti dikutip Harian Genta 15 Februari 1966. Saat itu, tulis Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa, Soekarno sedang berpidato dihadapan para wartawan dalam acara upgrading wartawan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Istana Bogor, 12 Februari 1966. Bung Karno memang terkenal dekat dengan wartawan, bahkan tidak segan-segan merapikan kemeja dan dasi para wartawan, sekaligus menegurnya bila berbusana tidak rapi. Ia juga sangat marah bila wartawan salah menulis pidatonya. Lebih-lebih salah dalam menulis kalimat bahasa Inggris. “Dia pernah marah ketika ditulis namanya Presiden Ahmad Sukarno. Bung Karno menyebut penulisnya sebagai wartawan tolol. Rupanya wartawan itu meniru sebuah harian di Timur Tengah yang menulis nama Bung Karno dengan tambahan ‘Ahmad’,” tulis Alwi Shahab dalam artikel Meliput Bung Karno dan Pak Harto. Cuplikan-cuplikan kisah bagaimana seorang pemimpin atau pejabat publik dengan wartawan cukup banyak. Tak sedikit ada wartawan dimarahi, disindir, dicuekin, atau malah diajak ngobrol dan dibayari makanan oleh pejabat itu. Sedikit memang kisah-kisah seperti dituliskan, apalagi pejabat setingkat gubernur atau bupati. Lain Soekarno, lain pula gaya Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Gubernur satu ini terkenal di kalangan wartawan dengan celetukan-celetukan ‘sinis’ dan ‘emosional’. Ia memang cenderung temperamental, meski setelah beberapa saat emosinya itu mereda. Tapi bagi wartawan hal sepert itu cukup ‘menghibur’. Ada seni tersendiri bila berhadapan dengan Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) periode 2007-2011 itu. Saya ingat betul bagaiman reaksi Foke, sapaan akrab Gubernur, ketika wartawan mencecarnya saat terpilih sebagai Dewan Pembina Partai Demokrat 2010-2015. Dengan cukup enteng, putra asli Betawi itu berujar, “Ente tahu dari mane,” kata Foke usai membuka Festival Jakarta Great Sale di Mal Central Park, Jakarta Barat, Jumat (18/6). Tak cuma sekali itu, ia berujar dengan nada tinggi. Namun sudah seringkali ia berkomentar ‘sinis’ dan 'emosional'. Terakhir, Selasa (12/10) ketika wartawan Balaikota hendak mencegatnya untuk diwawancara (door stop), sang Gubernur menolak sambil melihat ke jam tangannya. "Nanti jam dua belas ya, Jakarta enggak tenggelam, kan?” kata Fauzi saat wartawan The Jakarta Globe, yang pertama kali menyapanya. Wartawan di belakang pun delek-delek (tertegun), sambil melihat Foke melenggang jalan. Juga ketika wartawan online, detik.com, bertanya. Saat itu, ia mau mengklarifikasi apa benar di Kepulauan Seribu akan dijadikan tempat pusat perjudian, karena sebelumnya ada wacana beredar seperti itu. Apa jawab gubernur?"Saya ongkosin ke sana, kalau enggak ada, saya sembelih kamu," kata Gubernur. Kepala Bidang Informasi Publik Pemprov DKI, Cucu Ahmad Kurnia pun mengakui karakter atasannya itu. Cucu memandang meski, gubernur suka emosi bukan berarti pemarah. “Memang begitu karakter bapak, logat Betawinya sangat kental sekali,” ujar Cucu kepada saya suatu kali. Ia juga pernah terkena semprot ketika awal-awal menjadi humas Pemprov DKI. “Loe udah baca belum berita hari ini,” kata Cucu menirukan kata-kata Foke. Cucu menjawab, hanya dua koran yang dibaca, alhasil ia pun kena marah. Sejak saat itu, ia tiap pagi harus melahap puluhan koran yang terbit. “Bapak itu banyak banget bacaan korannya, ada Strait Times, Asia Week, Businees Week, dan koran-koran lainnya ... bapak itu suka dengan wartawan, tapi kalau ada pertanyaan yang tidak ‘cerdas’ atau diulang-ulang, bapak pasti kesal,” ujar dia. Namun begitu, ada yang ‘unik’ dengan komentar Foke saat membuka seminar Peningkatan Pemahaman Kehumasan dengan peserta para pejabat eselon II dan III di Balaikota DKI Jakarta, Kamis (14/10). “Sebagai pejabat eselon, Anda tidak boleh takut kepada wartawan. Jangan wartawan tanya semuanya sama gubernur ... Tidak perlu menyikapi hal-hal yang berkembang secara emosional ... melihat media seakan-akan seperti musuh besar,” ujar Foke. Sayangnya Foke tak menyadari, bahwa dirinya sendiri juga seseorang yang terkadang emosional di hadapan wartawan. Saya jadi teringat, kata-kata Presiden RI ketiga, Burhanudin Jusuf Habibie, suatu kali saat berpidato di depan para peserta acara Pencanangan Hari Kebangkitan Ekonomi Rakyat di Istana Negara, yang mengatakan, sebagai pemimpin itu tidak boleh alergi dikritik, apalagi marah. “Saudara-saudara harus beri masukan kepada pemerintah. Kalau tidak benar kritik pemerintah, tidak mengapa. Kalau pemerintah tidak mau dikritik, tidak bener, dong!” kata Habibie seperti ditulis Tijpta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H