Ketika kita membicarakan persoalan pornografi, kita selalu tersandung dalam pergolakan kerancuan akan pengertian, definisi atawa batasan-batasannya. Jika kita, katakanlah, memaknai videoklip dari aura kasih dalam lagu mari bercinta, bukanlah hal yang disebut porno tapi sebuah seni, boleh-boleh saja. Terus, cover cewek seksi dan syur dalam berbagai majalah pria dewasa, misal EHM, FHM, Playboy dsb., bukan suatu porno tapi suatu seni yang memang sudah tepat pada penempatannya; majalahnya pun sudah diberi label khusus majalah “pria dewasa”; boleh-boleh saja mengatakan seperti itu. Jika kita berbicara hukum (syariat) masing-masing pihak, itu semua akan dibetulkan.
Namun begitu, tetap saja persoalan pornografi ini sangat meresahkan. Jika faktanya benar apa yang dikatakan oleh Taufiq Ismail dalam Pidato Kebudayaannya yang berjudul “Budidaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka”, di Universitas IPB, (9/01/2007) lalu, ada sekitar 4.200.000 situs porno dunia dan 100.000 situs porno Indonesia di internet, sehingga cukup empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus fisiologinya, dapat diakses tanpa biaya. Ini tidak hanya berbahaya tapi sudah semacam mesin penghancur dunia. Bagaimana kita akan menghadapi sebuah serangan yang begitu dahsyat seperti itu. Saya setuju sekali dengan pendapat sosiolog Amerika Serikat, yang dikutip Taufiq Ismail, yang mengumpamakan serbuan kecabulan di negaranya sudah bagaikan gelombang tsunami setinggi 30 meter, dan kami melawannya dengan dua telapak tangan.
Porno tidaknya suatu film/foto/adegan dalam media massa gampang-gampang susah untuk diterjemahkan. Apalagi kita berusaha untuk memberantas atawa membumi-hanguskan porno, itu suatu hal yang sama sekali tidak bakal mungkin. Pornografi adalah salah satu hal diantara kriminalitas dan pelacuran sebagai social evils yang diciptakan oleh sistem ekonomi pasar (market economy).
Bayangkan dan rasakan, perkataan Taufiq Ismail sekali lagi soal pornografi, bahwa Indonesia kini jadi sorga besar pornografi paling murah di dunia, diukur dari kwantitas dan harganya. Angka resmi produksi dan bajakan tidak diketahui pasti, tapi literatur menyebut antara 2 juta – 20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000, orang bisa menonton sekeping VCD/DVD biru dengan pelaku kulit putih dalam 6 posisi selama 60 menit. Luarbiasa murah dan anak SD pun bisa membelinya.
Sebuah angka-angka yang fantastis, itu pada 2 tahun lalu, barangkali kini sudah berjibun lebih banyak. Begitulah, dalam sistem pasar atawa kapitalisme apa pun bisa dikomersialkan dan yang bisa kita lakukan hanyalah mencegah untuk meminimalisir meluasnya pornografi.
Bangsa ini ketika bereaksi terhadap pornografi terlalu emosional dan frontal, seolah-olah perang dengan musuh yang jelas tampak di depan mata sambil membawa senjata lengkap. Pornografi itu semacam bayang-bayang dari tubuh kita, dirinya susah melepaskan dari kita karena kita sendiri yang membikinnya, dan apakah bayangan itu dikatakan porno atawa tidak tergantung kita memaknainya. Permasalahannya, ini sudah meresahkan umat atawa keharmonisan masyarakat.
Jika gambar/film/foto/adegan itu untuk konsumsi pribadi atawa ruang-ruang khsusus seperti laboratorium kedokteran dll, itu masih diperbolehkan, tapi ketika sudah menyebar ke tubuh masyarakat, mereka sudah milik bersama, mulai dari kakek-kakek ompong sampai anak-anak TK. Apalagi produksi media massa adalah produksi yang bagi semua orang boleh menikmatinya, meski sudah ada label indikator untuk kalangan 17+ siapa yang bisa mengawasi setiap orang untuk menonton atawa tidak acara yang berlabel 17+.
Kita akui sajalah bahwa diri kita ini sebenarnya munafik, seperti apa yang dikatakan oleh Muchtar Lubis, masyarakat Indonesia itu munafik atawa hipokrit. Berpura-pura, lain di muka, lain pula dibelakang (1977: 23).
Kita menyembunyikan apa yang sebenarnya kita rasakan atawa dipikirkan atawa yang sebenarnya dikehendaki, mungkin karena takut dianggap tidak intelek, tidak humanis, atawa radikal, sehingga ketika berpendapat mengenai pornografi mencoba mengambil jarak dan mencari celah untuk bisa mematahkan pendapat kita sendiri, bukan memikirkan bagaimana seharusnya pornografi ini ditekan.
Kita sebenarnya tahu dan paham bagaimana efek sebuah gambar/film porno, tapi seolah-olah karena merasa tidak bakal terangsang terus mengatakan tak ada masalah dengan gambar/film porno. Kita akan mengatakan ini seni, sebuah karya anak bangsa, kalau disensor atawa dipotong itu namanya mematikan kretifitas dan kebebasan berekspresi. Bukankan sudah diatur dalam UUD 1945 pasal 28? Lagi-lagi pasal ini yang kemudian dijadikan landasan.
Bagi saya, UUD 1945 tetaplah tinggi dan paling dasar, tapi tidak terus menjadi segala-galanya. Sebuah undang-undang yang baik itu tentunya yang menentramkan masyarakat banyak bukan segelintir umat. Jika kita mengatakan seperti itu, kita hanya menafsirkan pasal itu untuk diri dan kelompoknya sendiri.