Mohon tunggu...
Labib Akmal Basyar
Labib Akmal Basyar Mohon Tunggu... -

Aku adalah seseorang yang ingin menangis ketika aku terkahir yang akan mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Itu Begitu Mudah Tersinggung

11 Maret 2009   17:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

HARI ini adalah satu minggu lebih sedikit, resmi sudah aku menjadi pengangguran. Artinya melepaskan diri dari status seorang mahasiswa. Meskipun, selama menjadi mahasiswa juga banyak menganggurnya. Namun, adalah status yang menjadikan semua menjadi berbeda. Ketika kita berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa atawa apa pun itu, kita akan merasa ‘aman’ dalam perbincangan orang-orang. Coba kalau kita mendengar ada kata-kata seperti ini, “Kamu tuh sudah lulus, kok masih menganggur. Kamu menambah beban pemerintah saja. Lihat sudah berapa banyak pengangguran di negeri ini!”

Ya kata-kata seperti ini yang akan sampai ke telinga kita jika tidak memunyai pekerjaan. Sebenarnya itu cuma omongan kosong, tapi sialnya aku pun termakan omongan itu dan menjadi banyak pikiran untuk selanjutnya.

Bagaimana mungkin aku dapat melepaskan omongan itu jika masih belum bekerja. Belum tentu juga mereka yang berbicara seperti itu, merasa bangga dengan statusnya sekarang. Pekerjaan yang dia miliki pun bisa jadi masih pas-pasan, untuk menghidupi keluarga. Sialnya, mereka masih begitu bangga.

Aku pun jadi teringat tokoh Azzam dalam Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburahman El Shirazy. Selepas pulang dari Universitas Al Azhar, dia pulang ke Kartosuro. Ibunya senang bukan kepalang. Anaknya lulusan kampus tertua di dunia, pulang dengan membawa ilmu seabrek. Meski lulus dengan pas-pasan, dia tahu tentang agama lebih dari rata-rata. Ini bisa ditunjukkan dalam cerita selanjutnya saat dia megajar ilmu tasawuf di sebuah pondok atas permintaan sang kiai pondok pesantren itu.

Pulang dari negeri para nabi itu, Azzam gundah dengan statusnya. Meski berilmu dia tak bekerja. Ia pun berpikir untuk indekost saja di Solo. Pagi berangkat ke Solo dan pulang sore harinya. Itu sebagai aktivitas untuk ‘mengelabui’ tetangga yang mudah bergunjing. Ia tak melakukan apa-apa di Solo. Dia berlaku seperti itu ya karena status tadi. Setelah berpikir dalam, dia pun memutuskan berjualan bakso seperti yang pernah dia lakukan semasa kuliah di Al Azhar. Dan status itu kemudian berganti. Dia pun akhirnya tak perlu bolak-balik Solo hanya untuk ‘mengelabui’ tetangganya.

Seperti halnya aku. Susah betul menerangkan pada orang-orang, bahwa belum tentu status S1 itu langsung menjadi orang terhormat. Mempunyai kedudukan tinggi, dan berduit banyak. Justru dengan S1 aku lebih malu dan takut. Takut gunjingan dan tentu saja pada pengorbanan orangtua. Orangtua bertahun-tahun menggelontorkan uang untuk kuliah, fotokopi tugas-tugas, buku-buku, dan kadang malah sering banyak buat main atawa pacaran. Tentu beban ini lebih dalam.

Menjadi tak punya status adalah pusing. “Ah, ngapain mikirin orang lain. Kan yang tahu kita sendiri,” kata pacarku suatu kali.

Eh ladalah lae..lae.., begitu kata Semar, kadang saya terima juga kata-kata itu. Tapi kemudian aku putuskan menolak pemikiran itu. Dengan alasan, aku hidup di masyarakat. Bukan soal aku menganggur atawa bukan, tapi aku lebih memikirkan pada psikologis orangtua. Apalagi aku hanya ada seorang ibu sekarang.

Beban ibu bisa menumpuk jika ditambah omongan orang. Maka aku pun terima omongan orang tersebut sebagai cambuk pada diriku.

Tapi tidak hanya soal itu saja. Masih banyak perihal yang seringkali manusia seperti saya dan kamu itu mudah terusik hatinya. Padahal, itu hanya sebatas guyon atau sepele sajalah. Seperti yang sudah saya tulis dalam Physically or What? Bagaimana manusia bisa menjadi marah atau suka gara-gara fisik. Orang mengatakan secara fisik karena memang memori otak kita lebih banyak menyimpan teori fisik daripada sikap atau tutur kata orang lain. Orang yang sikap dan tutur katanya lembut, sopan, tapi karena jelek kadang ditiadakan atau sedikit kurang dihormati.

Sekarang kita ambil contoh dai kondang Aa Gym, bagaimana umat merespon saat dia memutuskan nikah lagi. Keputusan itu diambil bukan karena pada sikap Aa Gym. Selama ini umat suka karena Aa Gym: ganteng, muda, enerjik, penuh semangat, penyayang keluarga dll. Mereka berasumsi Aa Gym hanya nafsu belaka. Hal lain bisa berubah, jika melekat pada Aa Gym yang perawakannya tua, jenggotan panjang, keriput, hitam dsb dan menikahi janda. Umat tak mungkin tersinggung kalau memang seperti itu adanya.

Saya pun tersinggung ketika ada teman yang mengatakan Aa Gym cuma nafsu saja. “Kenapa tidak dengan janda tua,” begitu kata teman saya.

Ah, bukan urusan kita, tapi coba lihat dengan positif. Apalagi itu bukanlah perbuatan yang melanggar aturan. Lain terjadi, jika Aa Gym melakukan di luar aturan. Semua boleh tersinggung. Tapi, dalam hal itu, Aa Gym berlaku untuk pribadi dan bukan pada umat. Jadi konteksnya berbeda.

Terus ketika umat menolak pornografi, kita selalu frontal. Nafsu amarah tinggi. Tapi, apa coba yang didapat?

Kita selalu tersinggung soal pornografi dan sejenisnya. Demikian juga saya. Hanya saja, kita tidak usah terlalu demikian berangasannya. Malah dengan begitu kita hanya mengeluarkan tenaga sia-sia. Pornografi bukan hal baru, dia beranak pinak dari peradaban. Dan hanya bisa dikendalikan dengan mencegahnya mulai dari diri sendiri. Bukan melarang ini-itu. Aturan yang dibuat hanya membatasi, tapi diri kita yang membentengi.

Kemarin pula saya dikatakan sebagai laki-laki seperti wanita. Hanya karena saya demikian cerewet jika berkomentar. Semua saya komentari. Teman saya baik laki-laki maupun perempuan, saat di mobil itu, risih dengan komentar saya. Terus apa yang membuat saya mirip dengan wanita, jika saya terlalu cerewet komentar ini-itu? Apakah cerewet identik dengan wanita? Itu salah kaprah otak masyarakat kita. Kasihan betul semua wanita di dunia ini, jika mendapat predikat cerewet.

Kalau seperti itu, saya malah jadi tersinggung. Meski saya meredam kekesalan yang masih tak terima. Memang, manusia itu begitu mudah tersinggung!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun