[caption id="attachment_351426" align="aligncenter" width="536" caption="foto:www.merdeka.com "][/caption]
KETIKA Jokowi-JK diarak rakyat dari bundaran Hotel Indonesia ke Istana Negara, saya adalah salah seorang yang ikut membaur, larut dalam euforia bergembira di tengah lautan manusia itu. Saya dengan sangat takjub merasai sendiri bagaimana antusias rakyat dan besarnya ekspektasi mereka kepada pemimpin baru Indonesia itu. Tidak pernah sebelumnya dalam masa setelah revolusi Indonesia, rakyat antusias di tengah hawa cuaca siang yang panas berpesta semeriah begitu menyambut datang pemimpin baru mereka.
Apa yang sebenarnya terjadi itu adalah luapan kegembiraan rakyat atas naiknya seorang “Rakyat Biasa” seperti mereka di tampuk kuasa paling tinggi memimpin negeri ini. Oleh banyak orang, Jokowi memang dipersonifikasi sebagai tidak hanya wakil dari “Rakyat Bawah” tetapi juga adalah pemberi harapan baru yang lahir dari bawah menyeruak naik ke atas dan lalu menggusur hegemoni penguasa kaum elit status quo yang selama ini bergantian menggilir memimpin bangsa ini. Kontestasi kemudian memang berjalan alot dan keras karena semua yang berbaju elit yang borju itu berkumpul sekelompok dalam kapal koalisi yang sama
Kejutan terjadi ketika presiden ketujuh yang “kerempeng” itu mengumumkan kabinetnya. Bukan sebab karena kesan “tarik ulur” dan “campur tangan” orang luar yang kuat dalam penyusunan komposisi kabinet, orang-orang dalam kabinetnyalah yang memantik perhatian dari banyak orang. Bagi yang memang tidak menyenanginya, kejutan itu bergantilah rupa menjadi hujatan, dan salah seorang yang disorot mata banyak orang dan lalu kemudian diperundungkan (dibully) di media sosial adalah Susi Pudjiastuti, seorang wanita pengusaha hanya tamatan sekolah menengah pertama yang diplot sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Banyak orang terperangah kaget, bukan hanya karena jenjang capaian akademiknya yang hanya sampai tamat SMP tetapi terutama juga karena kelakuan nyentrik eksentriknya yang apa adanya. Ketika prosesi pengenalan ke publik ia berlari kencang dengan menghambur tawa senyum ketika Jokowi memanggil namanya. Begitu itu usai, ia pun tanpa sungkan melepas hak sepatunya dan lalu duduk menselonjorkan kaki. Sebatang rokok ia keluarkan dari bungkusnya, disulut api dan lalu dengan santai dihisapnya batang tembakau itu, asap mengepul keluar dari mulutnya. “Biarkan saya selesaikan ini dulu” pintanya ketika awak media datang merubungi meminta wawancara.
Susi Pudjiastuti, makinlah kemudian ia tersohor, tidak lagi sebagai hanya pengusaha sukses yang ulet dan tekun, jabatannya yang berprestise mengangkatnya ke permukaan sebagai kini seorang wanita tokoh bangsa yang memegang kuasa dan bertanggungjawab tidak lagi hanya pada karyawannya saja tetapi kepada seluruh rakyat Indonesia. Oleh para pendengki yang tidak menyukainya, yang hanya melihat kulit dan segala tetekbengek lahiriah lainnya tentu itu membuat mereka mengurut dada bersungut-sungut dan lalu menjadikan mereka “gelap mata” berkomentar asal seruduk dengan serampangan merundungkannya (membullynya). Menteri Susi pun telah mendapatkan kritik yang keras sebelum ia memulai bekerja.
Apa yang terjadi itu diakuinya cukup mengganggunya. Ia selama ini memang hanya mengurusi usahanya yang di sana dia duduk sebagai bosnya. Tak ada kritik, apalagi bully sebab dialah sendiri pemilik perusahaan itu. Maka ketika kursi menteri didudukinya dan kritik datang bertubi menohoknya, tentu saja pastilah ia kelimpungan dan terganggu, sebab selama ini ia sangat sepi dari kritik, apalagi dari di Bully itu justru dialah yang kerap melayangkan kritik, hal yang kini itu berbalik kepadanya sendiri.
Dalam teks berjalan sebuah televisi swasta nasional, Jokowi mengatakan ia membutuhkan “orang gila” seperti Susi untuk mengambil langkah tegas dan beranimelakukan perbaikan total di kementerian yang menangani laut dan ikan-ikan itu. Lautan luas Indonesia dan segala isinya memang telah lama menjadi tempat paling aman mencuri dengan gila-gilaan bagi kapal-kapal asing. Puluhan ton ikan dari laut nusantara dengan mudahnya diangkut memenuhi lambung kapal-kapal asing itu dan dijual ke pasar-pasar internasional dengan label sebagai seakan-akan itu ikan dari hasil laut mereka.
Dan baru sehari setelah dilantik, Menteri Susi yang eksentrik ini telah menggebrak. Dalam rapat perdana di kementeriannya ia bicara blak-blakan dengan keras bagaimana negeri tetangga melakukan klaim atas ikan berjenis Black Tiger yang adalah hasil laut Indonesia sebagai disebutnya masuk dalam Fifty Seven Zone (zona 57) yang itu adalah Indian Ocean (Samudera Hindia) yang jelas-jelas adalah zonasi pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Indonesia. Wanita yang hanya tamat SMP ini rupanya memiliki pengetahuan yang baik dalam zonasi geomaritim dunia.
Mencuri Hak Prerogatif Presiden
Pengumuman kabinet kerja Jokowi-Jusuf Kalla disambut oleh riuh perspektif yang beragam. Mekanisme seleksi yang tertutup dan pelibatan lembaga anti rasuah dalam proses perekrutan anggota kabinet memang adalah langkah baru yang memerlukan diapresiasi.Tetapi apakah yang tidak bercela dalam politik? Segala-gala selalu tampak diametral. Bahkan sekalipun telah baik, oleh lawan politik akan selalu tampak buruk dan lalu dikatai itu sebagai tidak baik.
Tidak sedikit orang, paling tidak itu bisa dilihat dalam ruang maya media sosial yang mencibir dan dengan terang-terangan melakukan protes atas pengangkatan Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Bahkan sorotan paling keras datang dari seorang pakar kelautan ITB yang menyebut penunjukan Susi dalam jabatannya itu sebagai hal yang “ngaco”.
Pendapat ini mengesankan presiden Jokowi sebagai seorang yang gegabah dan tidak cakap dalam menyusun komposisi kabinet kerjanya dan itu akan membuatnya sulit mewujudkan tercapainya cita-citanya yaitu mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Tetapi bagaimanakah seperti telah memastikan gagal begitu yang bahkan bekerja pun baru akan dimulai? Saya melihat pandangan ini sebagai “dangkal” terburu-buru dan tendensius.
Lalu kritik lainnya datang lagi dari mereka yang membawa-bawa moral. Dalam mata mereka Susi yang adalah wanita sukses dalam usaha asal Pangandaran ini tidak etis dan tidak pula pantas untuk duduk dalam jabatan menteri yang terhormat itu hanya karena bertato pada kakinya dan berlaku nyeleneh dengan seenak maunya merokok. Kepada para moralis ini saya hendak bertanya: jika karena sebab bertato dan merokok itu ibu Susi lalu disebut sebagai bukan seorang yang moralis dan karenanya kemudian pasti akan gagal mengapakah ia bisa sukses dalam usaha dan bisnisnya? Menghakimi telah/akan gagal sebelum membiarkannya memulai bekerja dan mencapai akhir kerja adalah sebuah kezaliman yang adalah amoral.
Banyak orang lupa bahwa jabatan di kementerian adalah jabatan publik bukanlah jabatan akademis yang memerlukan deretan titel sampai ke jenjang pendidikan tertinggi yang di sana kualifikasi sebagai akademisi itu diukur pada penguasaan yang memadai pada bidang tertentu yang ditunjukan melalui karya pengajaran yang berhasil, kerja penelitian yang intens, dan pengabdian pada masyarakat. Banyak negara di dunia menempatkan pejabat setingkat menteri jauh dari disiplin ilmu pengetahuannya, gagalkah mereka? Tidak! Berkacalah pada Norwegia, negara Skandinavia yang merupakan penghasil dan penyuplai ikan terbesar di benua Eropa. Menterinya bernama Elisabeth Aspaker berlatar ilmu Teacher Training, bidang media dan keorganisasian.
Sebaiknya kita harus belajar berjiwa besar dan menahan diri untuk sabar dengan membiarkan dan melapangkannya jalan untuk memulai bekerja, dan kita akan mengamati dan lalu pada akhirnya menilai hasil kerjanya. Kritik yang kritis harus diarahkan tidak pada orang/person pekerjanya, apalagi sampai harus mengulik sikap tabiat kepribadiannya tetapi kepada hasil yang dikerjakannya, apa yang telah berhasil dicapainya, dan apa-apapula yang belum berhasil dicapaianya, dengan begitu tidak saja itu akan membawa kita kepada kemuliaan hati tetapi juga akan menjadikan kita sebagai pribadi baik yang bertanggungjawab.
Siapapun yang dipilih oleh presiden Jokowi sebagai pembantunya, itulah sepenuhnya hak prerogatif beliau yang tidak seorang pun boleh mengurusi apalagi menolaknya. Tugas kita sebagai rakyat adalah menunggu hasil kerja dari para pembantu yang telah dipilih dan diangkatnya itu. Memberi kritik tentu boleh tetapi menghakimi akan/telah gagal ketika baru mau memulai bekerja adalah naif dan bahkan sikap begitu itu menunjukan kita seperti “telah mencuri” hak prerogatif presiden Joko Widodo.
Ini Kabinet Kerja, bukan Kabinet Kejar! Biarkanlah bekerja dulu, lihat nanti hasil capaiannya lalu baru kejar kritisi sekerasnya jika banyak target meleset tak dicapai. Bukan malah sebaliknya, kejar kritisi sekerasnya, lalu kapan mereka memulai bekerjanya dengan baik?
Selamat bekerja Pak Jokowi-JK.
Selamat bekerja Ibu Susi Pudjiastuti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H