[caption id="attachment_318168" align="aligncenter" width="417" caption="sumber foto: pendoasion.wordpress.com"][/caption]
PANGGUNG rebut tahta kuasa dan gerak laju kontestasi politik nasional tiba-tiba menikung berbelok di jalan sungsang, lain dari biasanya: serangan kepada lawan politik dibangun dan dilayangkan memakai sajak yang satire.Ini adalah varian model baru dalam langkah taktis menyerang lawan saing dalam politik tanah air kontemporer. Apa sebenarnya yang dicari para politisi ini, agarkah mereka disebut berbudaya?
Tujuan akhir dari semuanya dengan mudah dapat ditebak: membungkus konten serangan yang mungkin tampak “kasar” jika tidak disampaikan dalam wujudnya sebagai sajak menjadi terlihat sebagai “tidak kasar” dan lazim dalam bentuknya sebagai sajak. Hal lainnya, dengan langkah itu akan tampak dilihat publik sebagai jauh dari praktek yang mengesani “tunabudaya” menjadi tampak gagah sebagai “berbudaya”
Maka sejak itu sajak yang puitis bertukar muka dari awalnya ia hanya lakon kerja budaya yang luhur dan berbudi menjadi berwajah muram politik dengan rupa yang licin, licik dan picik, isinyapun nyinyir berbau anyir amis serapah yang diumbar tanpa malu dengan norak vulgar sekali. Semua-mua itu tak ada lain pemicu yang memacunya selain hanyalah karena nafsu syahwat kuasa terlalu besar yang menunggangi para pelakon politik itu.
Sebuah partai berlogo kepala Garuda memulai agresif mengepak sayap. Ia terbang tinggi dan lalu melempar sajak satire. Yang disasarnya adalah Si merah Banteng gemuk bermoncong putih yang sesama nasionalis. Sekalipun semua kata dan kalimat dari si Garuda itu dibungkus dalam eufemisme ambigu yang metaforis, tetap saja bahkan awampun dapat dengan terang dan mudah melihat bagaimana tampak norak telanjangnya sasaran yang ditujunya. Hanya beberapa hari setelah dilemparkan, sajak nyeleneh itu telah mendapatkan balas dari kader si Banteng moncong putih.
Maka saling sindirpun terjadilah, perang berkata-kata dalam sajak yang satire menghamparlah, segala-gala yang dilihat sebagai kelemahan lawan saingan diumbar ditelanjangkan sevulgarnya dan lalu kemudian ditohok sekuatnya sampai tandas. Inilah politik, segala-gala di dalamnya adalah taktik dan intrik, apa-apapun bisa diambil, dipakai sebagai tameng bertahan melindungkan diri, sekaligus juga bisa dipakai menjadi senjata menyerang menaklukkan musuh, dan rasanya dalam selama musim politik tanah air selama ini barulah sekali ini saja sajak yang dipakai sebagai tameng berlindung sekaligus juga sebagai senjata menyerang itu.
Serangan kepada lawan saing dalam ranah politik dengan memakai sajak atau apapun saja selainnya memang dan tentu adalah hal yang lumrah dan lazim saja selama ia menyasar program kebijakan partai, platform partai sekaligus juga track record figure calonnya. Kontestasi konstruktif yang sehat begitu tentu akan sangat mengedukasi tidak hanya bagi para pelaku politik/politisi itu sendiri tetapi juga bagi seluruh rakyat bahkan yang tak melek politik sekalipun
Tetapi jika yang disasarnya adalah selainnya, hal yang tidak terkait platform dan kebijakan partai, track record figure orang-orang di dalamnya maka sehalus apapun dibungkusdalam sajak puitis memakai eufemisme yang metaforis dengan mudah bisa ditebak itu telah ulah yang vandal, hal yang serong melawan dan menyempal lari dari hakikat keagungan nilai-nilai berdemokrasi yang di sana ada penghormatan kepada diri pribadi seseorang sekalipun ia adalah berlawanan secara politik. Banyak politisi lupa diri, kalap dan lalu kemudian dalam keadaan seperti itu ia serampangan melayangkan serangannya, jadilah yang dilayangkannya itu sebagai hanya “sampah” saja.
Demangan, 2 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H