Penulis : Disa M, Syifa F dan Andika (Mahasiswa Administrasi Publik UIN SGD Bandung)
Dalam pelaksanaan sistem pemerintahan, akuntabilitas memiliki peranan yang sangat penting demi terciptanya good governance yang mampu memenuhi kebutuhan dasar serta hak-hak sipil setiap warga negaranya. Berdasarkan pasal 2 undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN juga dinyatakan bahwa dalam penyelenggaraan kebijakan serta manajemen ASN harus bedasarkan atas beberapa asas dan salah satunya yaitu asas akuntabilitas.
Akuntabilitas disini tidak hanya berkaitan mengenai persoalan etik yang mengedepankan baik atau buruk. Akan tetapi pada kahikatnya akuntabilitas merupakan perosalan yang lebih dari itu. Namun perlu disadari bahwa kondisi pertanggungjawaban penyelenggaraan pelayanan publik masih di hadapkan pada sistem pemerintahan yang belum efektif dan efisien serta kualitas sumber daya manusia aparatur yang belum memadai.
Hal ini terlihat dari masih banyaknya kasus korupsi yang masih marak terjadi. Kasus korupsi mantan Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten yang menghabiskan dana desa senilai Rp 900 juta menjadi bukti bahwa penerapan akuntabilitas belum terselenggara secara baik.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari jakarta.tribunnews.com, mantan Kepala Desa Lontar, Aklani, didakwa telah menyalahgunakan dana desa sebesar Rp 925 juta pada tahun 2020. Pasalnya, uang tersebut digunakan untuk foya-foya, termasuk karaoke dan nyawer pemandu lagu. Aklani juga tidak melaksanakan sejumlah kegiatan yang telah direncanakan di APBDes dan menggelapkan gaji pegawai demi kepentingan pribadi.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, mengapa kasus ini baru terungkap pada tahun 2023? Padahal Aklani merupakan kepala desa periode 2015-2021. Uang yang digunakan merupakan dana desa anggaran tahun 2019 yang seharusnya diperuntukan untuk kemajuan pembangunan dan masyarakat desa.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari www.rbg.id, selama memangku jabatan sebagai Kepala Desa Lontar Banten, Aklani tidak langsung ketahuan melakukan korupsi karena ia membuat berbagai proyek fiktif. Salah satu proyek fiktif yang dibuat Aklani adalah pembangunan rabat beton di beberapa RT dengan nilai ratusan juta. Proyek fiktif lainnya adalah pelatihan servis ponsel untuk warga saat masa pandemi COVID-19 dengan nilai puluhan juta.
Korupsi dana desa yang mencapai hampir Rp 1 miliar ini merupakan bukti bahwa pengawasan terhadap penggunaan anggaran di desa masih sangat lemah. Hal ini sangat miris tentunya, mengingat pengelolaan keuangan pemerintah yang baik harus didukung dengan audit dan pengawasan sektor publik yang berkualitas. Jika audit sektor publik rendah, maka akan memberikan peluang bagi lembaga pemerintah untuk melakukan penyimpangan penggunaan anggaran.
Kasus korupsi yang melibatkan seorang mantan Kepala Desa (Kades) di Banten dengan nilai hampir Rp 1 miliar telah menciptakan keprihatinan dan pertanyaan tentang keterlambatan dalam pengungkapan kasus tersebut. Fenomena ini mencerminkan beberapa isu penting dalam tatanan pemerintahan dan hukum di Indonesia.
Pertama, lambatnya pengungkapan kasus ini menggarisbawahi masalah serius dalam sistem pengawasan di tingkat lokal. Proses pemantauan dan pengawasan atas dana desa dan tindakan pejabat desa, seperti Kades, sepantasnya lebih efisien. Keterlambatan dalam mendeteksi kasus korupsi sebesar ini mengindikasikan adanya celah dalam sistem pengawasan yang perlu diperbaiki.
Kedua, masalah ini juga menyoroti tantangan dalam penegakan hukum di tingkat daerah. Kemungkinan adanya intervensi politik atau perlawanan dari pihak-pihak yang terlibat dapat memperlambat proses hukum. Keterlambatan ini menyiratkan perlunya reformasi dalam sistem peradilan untuk memastikan keadilan dan penegakan hukum yang lebih efisien.