Mohon tunggu...
LA2KP
LA2KP Mohon Tunggu... Mahasiswa - Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Lembaga Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik (LA2KP) merupakan sub unit jurusan Administrasi Publik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang diresmikan pada tahun 2019 yang bergerak dalam mengkaji isu-isu terkini yang berkaitan dengan kebijakan publik, memberikan pelatihan dan advokasi kebijakan, serta melakukan riset dan analisis yang bekerjasama dengan lembaga ataupun instansi pemerintahan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesia Hebat? Tapi Kenapa SAH-nya RUU Perampasan Aset 'Lambat'?

21 Juli 2023   19:04 Diperbarui: 21 Juli 2023   19:04 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis : Fauzan Adhim S., Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UIN SGD Bandung

Belakangan ini apabila kita melihat media sosial akan muncul dengan mudah berita mengenai berbagai ironi dari republik ini yang salah satunya adalah kasus korupsi yang kian eksis. Mudah disebut contoh kasusnya seperti korupsi BTS (Base Transceiver Station) oleh Kominfo Johny G Plate, korupsi bansos COVID-19 oleh Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, dan lainya yang masih berproses secara hukum atau mungkin yang belum terindikasi dan masih menggeliat di birokrasi. Sungguh semua ini adalah sebuah ironi, tentu publik juga sampai saat ini menolak lupa dan terus mengadvokasikan baik itu opini anti korupsi di berbagai media, mengeskpresikan dengan satir, bahkan sampai berdemo demi menegaskan secara langsung bahwa sudah cukup dengan korupsi di negara ini. Tidak bisa dipungkiri juga dampak pemulihan kerugian negara yang tak sebanding dengan ongkos pemberantasan korupsi ini ibarat besar pasak dari pada tiang. Dengan berbagai ironi tersebut lalu apakah mungkin Indonesia menjadi hebat?

Tepat pada tahun 2003 sebuah inisiasi muncul dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) untuk menjawab masalah kerugian dari korupsi, yaitu dengan mengusulkan RUU (Rancangan Undang-Undang) Perampasan Aset. Di mana rumusan UU (Undang-Undang) tersebut mengacu pada ketentuan UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang memiliki konsep Perampasan Aset Tanpa Tuntutan Pidana (Non-Conviction Based Asset Forfeiture) yang berdasarkan pada tradisi hukum di negara-negara common law system. Sekalipun berdasarkan dari tradisi hukum common law bukan civil law seperti yang biasa ditemukan dalam UU di Indonesia namun secara kontekstual sangat relevan dan dapat diratifikasi menjadi UU yang dapat dijalankan. Tentu hal ini sangat bisa dibenarkan melihat fakta bahwa kerugian negara yang disebabkan oleh korupsi sangatlah besar dan berbanding terbalik dengan kerugian yang dikembalikan, apabila hal ini terus berlanjut maka dampaknya akan semakin kronis dan bahkan bisa jadi membudaya dan menjadi lumrah.

Pasalnya persenan uang negara yang kembali berdasarkan catatan ICW (Indonesia Corruption Watch) pada 2021, jika ditinjau berbagai kasus korupsi yang tertangkap basah persidangan di seluruh Pengadilan Tipikor Indonesia, kerugian negaranya mencapai kisaran Rp.  62 triliun. Kerugian negara tersebut setidaknya berasal dari korupsi PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia Rp. 36 triliun, korupsi Jiwasraya Rp. 16 triliun, serta korupsi impor tekstil PT Fleming Indo Batam Rp.1,6 triliun. Hal yang menjadi ironi adalah uang yang dikembalikan kepada negara tercatat hanya sekitar Rp. 1 triliun, tentu angka ini sangatlah kecil dibandingkan agregat keseluruhan dari kerugian yang dialami. Bisa dibuktikan dengan jelas bahwa pemberatasan korupsi yang hanya menggantungkan pada legislasi yang ada saat ini terlepas dari faktor beberapa kasus sangatlah tidak efektif dan efisien.

Bayangkan saja dengan angka kerugian yang ada saat ini apabila dapat dikembalikan ke negara berapa banyak proyek--proyek strategis nasional yang dapat dilaksanakan tanpa khawatir dengan pinjaman asing, dan bahkan apabila RUU Perampasan Aset ini berhasil disahkan sangat dimungkinkan bahwa kepercayaan dan kepuasan publik akan semakin meningkat. Kembali pada proses pengajuan RUU ini pun beberapa kali masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), di antaranya di tahun 2008, 2014-2019 dan yang terbaru di tahun 2023. Namun, sampai sekarang DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dapat dilihat dari rapat sidang komisi III yang terbaru justru menimbulkan kesan yang buruk dan justru membuat jawaban yang tidak memuaskan dengan hanya memutar kalimat dari rumitnya birokrasi. Padahal dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi sudah beberapa kali menyebutkan bahwa RUU Perampasan Aset harus segera disahkan, hal ini dibuktikan dengan surat presiden pada 4 Mei 2023 yang berisikan penugasan langsung pada pimpinan DPR untuk segera menggarap UU Perampasan Aset ini.

Tidak ada alasan juga untuk menolak karena dalam surat tersebut ditugaskan pula berbagai instansi lainya, yaitu Menko Polhukam Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo, semakin mempertegas urgensi dari UU Perampasan Aset sebagai prioritas nasional. Terlepas dari ironi yang diperlihatkan oleh anggota DPR pada rapat sebelumnya yang justru menyampaikan pesan bahwa seharusnya yang dilobi jangan langsung ke DPR, tapi pada para petinggi partai politik dahulu, dengan nyinyiran ditelpon "ibu" oleh Bambang Pacul. Justru ini semakin menguatkan esensi RUU ini, apabila political will dari DPR tidak terlaksana sekalipun surat presiden sudah turun maka dengan jelas warna DPR yang memang saat ini dipersepsikan buruk dan tidak memuaskan terbukti benar. Perlu diketahui juga bahwa setingkat RUU Cipta Kerja saja yang berisikan 1.203 pasal dari 79 UU hanya diselesaikan dalam waktu 167 hari, maka tidak ada alasan untuk keterlambatan dan fakta juga dibandingkan ribuan pasal RUU Ciptaker yang juga memakan ribuan halaman, RUU Perampasan Aset ini bahkan tidak mencapai ratusan halaman. Untuk Indonesia yang hebat tentu harus mengacu pada konsep Good Governance yang di dalamnya terdapat konsep transparansi dan UU Perampasan Aset ini adalah solusi tepat sebagai langkah besar untuk pemberatasan korupsi di negara ini.

Jangan lupa ikuti kami di media sosial instagram dengan laman instagram dan website kami  https://ap.uinsgd.ac.id/ ya sobat!

Daftar Pustaka

Mengenal Pengertian Korupsi Dan Antikorupsi Pusat Edukasi Antikorupsi. Available at: https://aclc.kpk.go.id/action-information/exploration/20220411-null (Accessed: 19 July 2023).

ICW: Kerugian Negara Akibat Korupsi RP62,9 triliun pada 2021: Databoks Pusat Data Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Available at: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/05/23/icw-kerugian-negara-akibat-korupsi-rp629-triliun-pada-2021 (Accessed: 19 July 2023).

Pengesahan Ruu perampasan Aset Akan Jadi Bukti keseriusan Negara Memberantas Korupsi Kemitraan. Available at: https://www.kemitraan.or.id/blog/pengesahan-ruu-perampasan-aset-akan-jadi-bukti-keseriusan-negara-memberantas-korupsi (Accessed: 19 July 2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun