Pada pertengahan musim timur. Â Pecah tangis bayi dari sebuah gubuk kecil di tengah lahan jagung yang hijau. Seorang bayi laki-laki baru saja lahir dari sepasang suami istri petani di kebun itu.
Rasa syukur campur bahagia jelas terpancar dari binar mata dua sejoli itu. Apalagi karunia itu datang setelah melewati tahap penantian yang cukup lama. Pohon-pohon jagung pun  mena-nari merayakan bersama tiupan lembut angin pagi itu.
Namun siapa sangka, disela gelayut hati yang berbunga-bunga. Membuncah rasa cemas dari dada pak Tani. Tiga bulan sebelum kelahiran sang putra. Ia mengalami mimpi. Sebuah mimpi yang ia rahasiakan. Pun bila ia yang mengingatnya (lagi) sendiri, sesegera ia tepis.
Begitulah, setiap kali bayangan itu kembali menghantui. Seketika itu juga ia enyahkan. Hanya mimpi, bunga-bunga tidur. Semua akan baik-baik saja. Begitu benaknya beradu.
Mereka kini membagi tugas sehari-hari. Istri mendapat bagian merawat anak dan urusan dapur. Sementara pak tani, ia  mengolah kebun. Walau kadang-kadang harus kebagian juga menyiapkan sarapan pagi.
Pak tani kian ulet, senyum bayi mungilnya adalah energi barunya. Ia kini mengolah lahan yang lebih luas. Pada musim timur, ia tanam jagung. Di musim barat, ia semai biji kacang tanah. Memagari, Â memupuk, merawat, menjaganya dari hama.
20 tahun berlalu, tinggal di alam yang masih perawan. Jauh dari hingar-bingar lacurnya kota. Keluarga pak tani hidup makmur. Mengolah makanan secara sederhana. Menyadap aren untuk di bikin gula. Menggiling kopi hasil kebunnya. Dan dengan menukar seliter kopi buat segepok tembakau dan kertasnya.
La Mando nama bayi itu, kini sudah menanjak dewasa. Tumbuh menjadi pemuda semata wayang yang manja. Selalu bermalas-malasan. Bermain layangan menjadi kegemaran satu-satunya.
Di lereng dekat sungai, cukup jauh La Mando mengejar, di situ  ia memperkirakan  layang-layangnya jatuh. Kelimpungan ia mencari. Tak jua ia ketemu. Pulanglah La Mando membawa putus asa.
Belumlah jauh melangkah. Samar-samar  tangis sesenggukan menyambar kupingnya. Di telusurilah ia arah suara itu dengan seribu penasaran.
Adalah seorang gadis, duduk terkulai setengah berbaring di bebatuan.
Di pandanginya seluruh tubuh gadis itu lamat-lamat. Berbeda dengan umumnya rupa gadis di kampungya.