Mohon tunggu...
Kurnia Zohari
Kurnia Zohari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Sedang menempuh pendidikan di Program Studi Pendidikan Sejarah, Universitas Pendidikan Indonesia

hobi nya maen pokoknya sambil diskusi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tantangan Pendidikan Sejarah dalam Post-Truth Society di Era Disrupsi

31 Mei 2022   19:45 Diperbarui: 31 Mei 2022   19:49 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era Disrupsi dan Post Truth Society

            Kehidupan yang penuh dengan perubahan sebagai akibat dari berkembangnya cara berpikir yang disruptif, kemajuan teknologi yang sangat komplikasi dan cepat, serta kehidupan bernegara yang semakin terbuka dengan pengaruh informasi tak tersaring, meretas ruang dan waktu pada puncak tertinggi. Menurut Prof. Said Hamid Hasan (2019) kehidupan yang tidak lagi berpikir linear dan kian didominasi oleh cara berpikir disruptif mengehendaki kemampuan berpikir inovatif. Disrupsi memantik lahirnya pola interaksi baru yang dianggap lebih inovatif dan masif. Mengubah banyak hal mulai dari ekonomi, budaya hingga pendidikan, dan sikap perilaku masyarakat. Berkaitan dengan disrupsi terdapat sejumlah ciri yang mengindetitaskannya, seperti peradaban real time, bukannya time series. Statistik time series atau deret berkala digunakan untuk menginterpolasi data-data masa lalu sehingga dapat digunakan untuk memprediksi masa depan. Sedangkan dalam penggunaan real time ini, dengan terolahnya secara langsung data oleh big data serta langsung dapat disimpulkan dan ditindaklanjuti.

            Revolusi Industri 4.0 juga telah membawa globalisasi menjadi suatu realita kehiduapan sehari-hari yang berbeda dari masa sebelumnya bahkan ketika suatu peristiwa sejarah terekam dalum buku teks pelajaran sejarah. Dewasa kini mulai dapat didigitalisasikan. Ketidaktentuan sebagai hasil dari perubahan yang begitu cepat menjadi tanda era ini yang tidak jarang ketidajelasana arah perubahan ini mengebabkan ambiguitas. Perubahan tersebut berjalan tanpa aba-aba revolusioner tapi akan berlanjut dengan arah dampak yang sulit terukur sehingga menghadirkan ketidakpastian itu sendiri. Era disrupsi ini menurut Dryer, dkk. (2011) memiliki ciri dalam berpikirnya, pertama Internet of Things, Artiicial Inteligent, cloud technology yang semuanya ini merubah secara fundamental apa yang telah dimiliki oleh masa lalu yang berdampak pada seperti apa masyarakat berperilaku kemudian. Pengunaan intenet dan peralihan konvensional kepada digital yang hampir disegala aspek sekiranya dapat mengevolusi perilaku manusia, dimana sekarangpun dapat dilihat banyak orang ketergantungan dengan gadgetnya. Internet tidak lagi menjadi sarana demokrasi, ini menjadi candu bagi masyarakat yang terdampak oleh disrupsi era ini. Sosial media menjadi aparatur yang mengudarakan konsep kebenaran dan memungkinkan menciptakan rezim wacana yang disengaja pada rekayasa fakta mengingat adanya ketergantunga dengan algoritma secara hierarkis (Sawyer dalam Sttenmark, dkk., 2018,  hlm. 67).  Perubahan yang dibawa oleh teknologi Revolusi Industri 4.0 dan berpikir disruptif tidak berbatas pada kondisi geografis, melainkan mengglobal mengingat adanya keteregantungan kehidupan antar bangsa.  Sebagian orang beranggapan bahawa media sosial adalah teritori tanpa batas, sehingga merasa bebas melakakuan apa saja. Tidak mengherankan kemudian bilamana banyak orang degan mudah membagikan berita bohong dan menyebarkan ujaran kebencian di media sosial (Herawati, 2016). Pengembangan dunia virtual dan kehidupan digital ini mengaburkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang konkret dengan kebenaran yang absah juga. Batas antara benar dan salah, nyata dan tidak itu bias dalam dinding virtual. Perubahan ini juga terjadi menyinggung perspektif kebenaran, sehingga melahirkan isitilah post truth atau pasca kebenaran. Post Truth berarti membangun pandangan dunia kemudian menolak untuk mundur darinya, atau menerima bukti yang mempertanyakan kebenarannya (Stuarrt, 2009, hlm. 13).

            Post Truth pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich di tahun 1992 yang dipergunakan dalam konteks politik untuk menjelaskan setengah benar atau berita bohong di lingkungan masyarakat Amerika. Tesich berkata "... we began to shy away from the truth. We came to equate truth with bad news, we didn't want bad news anymore, no matter how true or vital to our health as a nation. We looked to our government to protect us from the truth".  John Corner (dalam Marius G., & T. Jones, 2021, hlm. 9) membedakan berita bohong dengan post truth, menurutnya antara kedua istilah tersebut tidak terdapat keterkaitan. Dan sekarang post truth digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang mengandung kebohongan, atau data yang tidak kredibel. Post truth ini merupakan konsep periodisasi yang mengacu pada kecemasan publik transnasional, ketajaman sejarah, yang hanya dapat diamati secara empiris tentang klaim dan otoritas kebenarannya berada pada keviralan. Isitilah yang merupakan word of the year pada tahun 2016 oleh Oxford Dictionary yang didefinisikan sebagai suatu yang berkaitan dengan atau menunjukan keadaan dimana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada menarik emosi dan kepercayaan pribadi. Lingkungan Post _Truth berdampak pada masyarakat selaku konsumen berita dan informasi secara umum, namun bagi kalanagan akademisi, ini merupakan suatu malapetakan yang mendalam dalam mengejar kebenaran. Post truth memiliki kesamaan dengan perdebatan epistemik dan politik masalalu tentang relativisme, post-modernisme, dan kebohongan dalam politik, termasuk juga ketidakbenaran, kebohongan, penipuan dan kepalsuan yang disengaja (Arendt, 1972, hlm. 4). Sedangkan banyak juga yang menggambarkan post-truth sebagai hubungan dan bentuk sejarah, sosial, dan politik yang berkaitan dengan tekonologi komunikasi dan praktik budaya di abad ke-21.  Dengan sengaja post-truth menarik prasangka, memperkuat argumennya dengan teori konspirasi namun sangat angkuh terhadap fakta obyektif yang ada (Stuarrt, 2009, hlm. 13-14). Kebebasan akses digital membantu persebaran informasi yang tidak terbendung, termasuk informasi-informasi palsu yang berseliweran terutama dengan algoritmanya mampu meringkas kata kunci dalam satu kali pencarian. Bahkan seorang filsuf beraliran post-modernisme, Steve Fuller (dalam Peter, Sharon, dkk, 2018, 6) menjelaskan kebenaran sebagai suatu nama merek yang membutuhkan produk dan memaksa orang-orang untuk membelinya. Mensejajarakan suatu fakta pada bukti kesaksian perorangan yang otoritatif. ini berkaitan pula dengan demokrasi yang belakangan ramai diperbincangkan kembali, bahwa kebebasan berpendapat merupakan suatu keniscayaan yang dipayungi oleh hukum. Namun, kembali pada kebebasan akses itu dan ketidak inginan seseorang untuk memverifikasi informasi yang didapat menginiasiasi ketidakpercayaan terhadap para pakar yang expert dalam ranah tertentu.

            Kecenderungan terhadap emosi keberpihakan membutakan mata individu untuk mempertimbangkan fakta obyektif maupun literasi bandingan pada suatu informasi tertentu. Kemunculan konsep-konsep penujang dari teori Post-Truth yang menurut Ar Razy dan Mumuh (2021) diantaranya meliputi simulakra, realitas yang semu dan hasil simulasi menciptakan situasi dimana batas-batas antara kebenaran dan kepalsuan semakin sulit dan kabur untuk dibedakan. Pseudo-event, pembentukan opini publik yang bukan kenyataan sesungguhnya; pseudosophy, upaya untuk menghasilkan realitas sosial, politik, dan budaya yang tampak nyata padahal palsu, kemudian masyarakat dikondisikan untuk lebih mempercayai ilusi yang dihasilkan daripada realitas sesungguhnya.Orang-orang  yang mangaburkan fakta obyektif dan cenderung membenarkan opini yang tidak berdasar atas dasar kebeperpihaknnya maupun karena informasi tersebut viral sehingga individu tertentu membenarkannya, inilah yang disebut sebagai Post-Truth Society. Kelompok orang yang menurut Tom Nichols (2017) menghadirkan fenomena The Death of Expertise, mengingat para ahli entah itu akademisi, ilmuan, dokter, atau bidang profesi ahli lainnya sudah tidak diperhitungkan lagi pendapatnya, mereka kekeh pada kebenaran otoritatif yang berasal dari kesaksian perorang yang bukan ahli itu sendiri. Semakin memojokan juga argumen yang disampaikan oleh Tuchmen (1978) yang memandang bahwa profesionalisme itu bukan hanya sebatas etika praktis harian, tetapi lebih sebagai agen legitimasi. Runtuhnya otoritas keilmuan karena masyarakat berubah cara dalam mencerna informasi. Lebih jauh Tom Nichols (2017) menyimpulkan adanya gejala umum dari kekagagalan akademi dan kampus untuk menanamkan ilmu logika dan semanagat ilmiah dalam meragukan pelbagai hal. Dirinya juga beranggapan bahwa demokrasi dan liberalisme informasi menjadi malapetaka bagi dunia kepakaran. Post truth ini menjadi gambaran kondisi kebenaran di era disrupsi ini. 

Pendidikan Sejarah dan Post-Truth Society

            Kurangnya skeptisime dalam diri seseorang di era post truth ini menandakan kurang maksimalnya ilmu logika disebarluaskan ditengah masyarakat, hanya diperuntukan untuk civitas akademik merupakan suatu kekeliruan. Mengingat informasi dan kebenaran pun seyogyanya perlu diakses oleh khalayak banyak. Keengaanannya masyarakat untuk memverifikasi kembali informasi yang diterima, khususnya data yang berselancar di dunia digital semakin menjerumuskan dirinya kedalam jurang kebenaran semu. Skeptisisme ini begitu mempengaruhi kontruksi berpikir seseorang dalam menerima segala informasi dengan logika. Dalam hal ini pendidikan sejarah dengan berpikir kritisnya hadir untuk memberikan arahan terhadap individu  untuk memiliki cara pandang sejarah dalam melihat berbagi hal. Berpikir kritis setidaknya melatih kita untuk mengambil langkah mundur untuk mengevaluasi fakta dan membentuk kesimpulan berbasis bukti.

            Era post-truth adalah era irasionalitas yang disengaja, membalikan fakta dengan berita bohong. Eufemisme lain untuk kebohongan adalah kontra-pengetahuan, setengah kebenaran, perspektik yang ekstrim dengan meminjam toeri konspirasi. Kepercayaan individu terhadap individu lain memang merupkan hal yang lumrah mengingat kita manusia sebagai makhluk sosial. Namun, fanatisme demikian sehingga pendapat para pakar disepelekan merupakan hal yang perlu untuk diluruskan. Kebebasan berpendapat memang suatu bentuk keberkahan dalam masyarakat yang demokratis, tetapi menjadi pendapatnya fakyta yang dipaksakan sebagai kebenaran universal merupakan hal diluar hak mereka. Di era post-truth sesuatu menjadi cair, liar dan bergerak cepat dan tentunya sulit untuk dikendalikan. Kebenaran telah diintervensi oleh massa dalam jumlah banyak. Kebenaran ditempatkan sebagai komodits yang dicabik-cabik sesukanya, dengan dalih mencari kebenaran, padahal apa yang mereka lakukan sebenarnya menghancurkan kebenaran itu dan menghadirkan sinisme terhadap kebenaran itu sendiri. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Hans George Gadamer (2004) bahwa kebanykan manusia tidak pernah berjumpa dengan kebenaran.

            Gudonis dkk. (2021) memandang bahwa lingkungan Post-Truth menyajikan sebuah masalah khusus dan menantang sejarawan yang terlatih dalam menangani

Bukti, data, dan fakta untuk tetap bisa melestarikan memori kolektif dari fakta alternatif. Kajian disiplin psikologi sebelumnya telah melakukan penelitian yang menunjukan bahwa manusia tidak cukup rasional seperti yang kita pikirkan, hal ini bergantung pada bagaimana kita bereaksi dalam menghadapi kebenaran yang tidak terduga atau tidak nyaman (Fuller, 2018, hlm. 3). Kebenaran dalam disiplin sejarah tidak jauh dari definisi Aristoteles dalam Metafisika yaitu untuk mengatakan tentang apa itu, dan apa yang bukan bahwwa itu tidak adalah benar. Post-Truth Sejarah diterjemahkan sebagai komunikasi informasi palsu tentang fenomena sejarah yang menarik emosi dan keyakinan pribadi, dimana pelakunya tidak peduli terhadap kesejarahan dan melakukan penghinaan terhadap pendapat ahli yang bertentangan dengannya, dan tujuan yang mendasarinya adalah ideologi sebagai maksud untuk mendukung identitas kolektik atau kecenderungannya terhadap hal yang dianggap benar oleh dirinya (Gudonis, dkk., 2021, hlm.8). Tom Nichols (2017) melihat perubahan yang terjadi bukan hanya sebatas peristiwa lalu, namun juga malapetaka yang berbahaya. Ketidakpercayaan terhadap para ahli dan sikap anti intlektual yang sederhana seharusnya membawa angin segar untuk mengarahkan pada  kebenaran, namun nyatanya malah semakin buruk dan mengkaburkan kebenaran itu.

            Manusia merasa bahwa dirinya sedang berada pada puncak kebenaran, padahal kita satu sama lain sedang berkompetisi untuk merebuh suatu yang fanan dan begitu amat relatif dan tidak terlepas pada kenisbian. Maka menurut Bandasyah (2019) penting sekiranya masyarkat memiliki kesadaran akan kenisbian dan dimensi relatifitas dalam kehidupan. Sehingga penting bagi kita untuk menguasai sense of relativity jika ingin memelihara keseimbangan dalam hidup dan kehidupannya (Soedjatmoko, 2010). Dewasa ini, relatif masyarakat cenderung telah didikte oleh perkembangan disrupsi yang sangat cepat dan begitu liar dalam dinamika sosial budaya yang tanpa batas.  Kebenaran secara artifisial dimiliki oleh siapa saja, realitas dunia maya menjadi arena perdebatan yang menyingkirkan para pakar. Masyarakat yang melakukan demikian didokumentasikan oleh Nichols (2017) sebagai sub-judul "Pakar dan Warga Negara" yang singkatnya membahas kontroversi dan ketegangan diantara dua variabel tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun