Ketika membahas seni, kita akan berpikir bahwa seni itu selalu berkaitan dengan tradisi dan pakem yang tidak boleh diubah. Pertanyaannya, apakah benar demikian?
Seni adalah bentuk aktualisasi diri masyarakat yang diwujudkan dalam sebuah tindakan. Bisa berupa benda maupun sistem yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat tersebut.Â
Ketika seni tersebut diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, maka akan menjadi sebuah tradisi. Tradisi kerap kali mempertahankan pakem yang sudah ada, namun sesekali ada perubahan yang terjadi karena perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat sekitar yang sudah berubah.
Salah satu contohnya adalah tari Remo yang saat ini menjadi pembahasan dari sarasehan budaya "Munali Patah" yang diadakan oleh Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekeska) dan Masyarakat Desa Banjarkemantran, Buduran Sidoarjo.
Acara yang diadakan di Balai Desa Banjarkemantren, Kecamatan Buduran, Sidoarjo pada 9 September 2024. Ini membahas perjalanan sejarah seni di Sidoarjo, mulai dari kesenian tradisionalnya sampai pengaruhnya pada kehidupan modern.
Pemaparan dari para narasumber yang kompeten di bidangnya seperti Uriyati S.Sn, Dr. Rahmat Djoko Prakosa, dan Aji Kelono L S.Sn. Mereka bertiga merupakan pakar dalam hal dinamika seni di masyarakat.
Menurut para pemateri yang memaparkan pendapatnya di depan pelaku seni, budayawan, akademisi, dan masyarakat umum. Seni itu akan beradaptasi dengan masyarakat sekitar mengikuti perkembangan zaman. Tidak terkecuali seni tari Remo yang awalnya memiliki durasi tari yang lama dan rumit, kemudian diringkas dan lebih mudah dipelajari.
Munali Patah, tokoh Ludruk dan tari Remo berpengaruh dalam seni dan budaya Jawa Timur yang berasal dari Sidoarjo. Lebih lanjut lagi, sosok ini pernah tinggal di Desa Banjarkemantren yang menjadi cikal bakal berkumpulnya para seniman ludruk.
Dari inovasinya yang sederhana, dimana dia mencoba menyederhanakan tari Remo yang awalnya 30-45 menit dalam sekali pentas, bisa dipersingkat menjadi hanya 10-15 menit saja.Â