Merah putih menangis, putra bangsa saling mencaci.
Provokator hanya meringis, pekerjaannya berhasil.
Indonesia darurat toleransi, ketika otak terlanjur dicekoki rasis dan fanatisme akan menjadi bom waktu yang menghancurkan. Bila kita mengamati berita dalam sepekan, lebih dari dari satu kasus bermunculan. Mulai dari masalah ujaran kebencian pada agama tertentu, sentimen pada beberapa ras, hingga adu domba antar suku.
Konflik yang terjadi akhir-akhir ini membuat hati ini miris. Sepertinya ada yang hilang dari kita, sesuatu yang hilang itu tak lain adalah tenggang rasa dan wawas diri. Tenggang rasa adalah sikap menghargai perasaan orang lain bila ada suatu hal yang berpotensi merusak sebuah hubungan antar sesama. Sedangkan wawas diri adalah menyadari diri, sadar akan apa yang perlu dan yang tidak perlu diperbuat.
Dua sikap ini kian lama semakin langka bak satwa yang semakin punah. Ketika lidah dan jemari lebih cepat bertindak dibanding menahan sejenak untuk memikirkan apa yang terjadi kelak. Narasi kebencian dibangun dengan mengajak orang-orang yang Tak paham masuk ke dalamnya dan pergi seakan tidak punya dosa sama sekali. Demi kepentingan sesaat, orang-orang model ini tak akan peduli dengan nasib bangsa apalagi pada mereka yang diajaknya.
Jadi, alangkah baiknya bila kita membentengi diri dengan dua permata yang mulai luntur itu. Tidak akan hina mereka yang mengalah dan tidak pula mereka kalah. Sebab sejatinya tenggang rasa dan wawas diri itu akan memuliakan dirinya sendiri tanpa menjatuhkan pihak lain. Karena orang akan tahu dengan sendirinya mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan perbuatan yang nampak dan dapat dirasakan secara langsung.
Mari kita renungan sejenak. Ada kalanya kerukunan adalah harta yang tidak ternilai harganya. Kerukunan menjadi secuil surga yang ada dalam raga pertiwi. Banyak negara yang hancur lebur karena perbedaan. Ada yang mendirikan negara berdasarkan rasnya masing-masing dan menindas ras lainnya.
Sudah banyak contohnya dan apa kita mau seperti mereka? Yang akan menindas yang lain? Bukankah Tuhan menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal?
Dunia yang hanya diisi oleh satu jenis saja akan menjadi neraka meski kita tinggal di dalam surga. Adam kesepian tanpa Hawa dan alam akan sunyi bila tidak ada makhluk lainnya yang menghuni semesta ini. Sehingga sudah sewajarnya bila perbedaan seharusnya merekatkan kita, bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H