Sebenarnya apa gunanya mempelajari sejarah? Mungkin kita akan berpikir betapa ruwetnya mengingat kejadian yang telah berlalu. Kata orang tua kita yang berlalu biarkan berlalu. Jangan biarkan masa lalu membelenggumu. Memang ada benarnya, tetapi kita harus lihat dulu apa yang harus dibuang. Jangan sampai kita membuang mutiara dan mengambil kerangnya.
Mengingat adalah cara kerja dari akal agar tetap hidup. Dengan mengingat, kita dapat membuka kembali kegiatan, gerakan, dan pemikiran yang terus bergerak laksana kereta cepat. Kereta yang berjalan tanpa henti di setiap saraf kita. Maka potensi akal tersebut harus dibarengi dengan sarana penunjang lainnya, salah satunya adalah mengingat. Sebab ingatan seperti gerbong yang menyeimbangkan laju kereta.
Jadi begini. Agar lebih mudah, coba Kawan bayangkan kereta yang melintas tanpa gerbong? Dia cepat namun tidak berguna dan pasti Kawan akan mengumpat bila kejadian itu benar terjadi? Sial sudah nunggu lama, yang keluar cuma kepalanya saja! Jadi itulah fungsi sebuah gerbong yang bernama kenangan.
Kenangan membawa pengalaman dan hikmah bagi yang merenungkan. Merenung dan mengambil hikmah dari peristiwa yang ada. Lalu bertindak berdasarkan keberhasilan dan kesalahan yang pernah terjadi. Sehingga membentuk sebuah identitas yang jelas dan berwawasan. Ini tidak hanya tidak berlaku hanya pada manusia saja, namun juga pada sebuah kumpulan manusia bernama masyarakat.
Oh iya Kawan, berbicara soal identitas bermasyarakat saat ini terasa penting sekali. Membangun identitas itu sebuah keharusan. Tanpa identitas, kita hanyalah binatang yang berakal. Begitu pula suatu bangsa, untuk mempertahankan eksistensi mereka di dunia perlu membina identitasnya yang kelak menjadi dasar peradaban suatu bangsa tertentu.
Contoh paling gampang, coba amati tiga budaya yang ada di Asia Timur seperti Jepang, Cina, dan Korea. Baik baju adat, masakan, tulisan dan sebagian budaya mereka memiliki persamaan. Jepang punya kimono, Korea punya hanbok dan Cina punya hanfu bagi baju kaum hawanya. Meski mereka berasal dari rumpun yang sama, nyatanya mereka memiliki ciri khas tersendiri agar tampil beda.
Mengapa mereka (dalam hal ini adalah bangsa) membangun identitasnya? Tak lain dan tak bukan untuk saling mengenal. Tuhan menciptakan manusia dalam wujud yang beraneka ragam agar kita saling mengenal satu sama lain dari perbedaan. Seperti contoh di atas, di mana Jepang, Korea dan Cina memiliki leluhur yang sama pada 3000 sampai 3600 tahun dari Dinasti Shang di Cina. Lalu mereka membangun identitas mereka saat mereka menyebar.
Jadi mempelajari kebiasaan dan kebijaksanaan para pendahulu itu asyik. Kita bisa tahu asal muasal sebuah komunitas. Dari sebuah kebiasaan sehari-hari berkembang menjadi adat-istiadat. Kelak ini membentuk sebuah budaya yang khas yang bersamaan dengan terbentuknya suatu hukum berdasarkan norma, moral, dan akhlak yang telah dicontohkan oleh leluhur mereka.
Baik dalam hal yang tampak seperti hubungan sosial maupun dalam hal yang tak kasatmata semisal ketenangan jiwa. Selain itu, membangun identitas suatu bangsa juga sangat penting dalam hal menjaga keamanan dan keberlangsungan hidup suatu komunitas tertentu. Tanpa identitas yang kuat akan mudah sekali dipengaruhi oleh pihak lain dan sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta mereka yang tidak cukup kuat identitasnya akan masuk lingkaran komunitas yang lebih dominan.
Oleh karena itu, jalan untuk mencari jati diri pribadi dan identitas suatu komunitas, mempelajari sejarah adalah pilihan yang pantas. Tidak ada cara lain selain menelaah asal muasal, cara, pengalaman, dan hikmah yang pernah dilalui oleh generasi terdahulu baik sesuatu yang membanggakan maupun yang kelam. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai generasi penerus merawat identitas budayanya agar tahu siapa sejatinya kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H