Mohon tunggu...
Kyota Hamzah
Kyota Hamzah Mohon Tunggu... Freelancer - penikmat sejarah yang kebetulan menulis

Penulis puisi, cerita sejarah dan hal-hal menarik soal sejarah. Kadang menulis fenomena yang terjadi di masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ke Mana Kita Mencari Pertiwi?

20 Agustus 2019   23:00 Diperbarui: 20 Agustus 2019   23:13 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapa yang layak menyandang pewaris pertiwi? Apakah mereka yang mengaku paling suci? Ataukah yang merasa paling peduli? Bila Kawan menemukan kata "yang paling" maka sejatinya mereka bukan pewaris dari pertiwi! Loh kok bisa? Tentu saja, karena pertiwi tidak pernah merasa dirinya mulia kecuali Sang Api dan Ilahi itu sendiri.

Pertiwi adalah perlambang dari kita, manusia yang berasal dari tanah. Tidak ada kemuliaan maupun kebanggaan kecuali ditinggikan oleh Sang Pencipta sebagai penjaga kehidupan. Tumbuhan serta binatang tumbuh dan berkembang di atas tanah yang kotor lagi berdebu. Namun apakah tanah murung dengan kenistaannya? Tidak, justru semua makhluk menghormati dirinya karena ketulusan serta kasih sayangnya yang tak pandang bulu.

Pertiwi memang keras, namun kerasnya adalah pembelajaran. Pertiwi mengajarkan pada kita, kemuliaan datang dari ketaatan dan juga kesetiaan. Taat akan janjinya untuk merawat segala kehidupan dan setia pada jalan hidup yang dipilih. Pertiwi memilih merawat kita sebagai anaknya dan setia menemukan risalah ilahi bernama agama.

Pertiwi selalu menyayangi anaknya, meski ia bukan dari rahimnya. Pertiwi laksana ibu yang menjaga putra putrinya dari mara bahaya, namun kala murka pertiwi memuncak jangan harap mengelak dari amuknya. Pertiwi masih sabar mengingatkan kita dengan tanda, kita sendiri yang jarang mendengarkan.

Ketika gempa dianggap bencana, sejatinya itu tanda bukan murka. Andai itu murka sudah pasti semua binasa tanpa sisa layaknya manusia terdahulu. Manusia yang memuja akalnya akan terpental oleh akalnya sendiri. Tak terima bila segala peradaban yang dibuatnya kalah oleh sentilan ibu pertiwi.

Manusia yang memuja cinta buta pun akan buta melihat realita yang ada. Apabila nafsu telah dianggap kalam pencipta, maka kesesatan yang menuntun dirinya dari cahaya menuju bencana. Yang seharusnya pengingat baginya dianggap laknat bagi lawan mereka. Mereka lupa jika kita tak luput dari nista dunia dan pertiwi mencoba menyucikannya.

Sejatinya agama adalah ayah dan budaya itu ibu kita. Ayah mengajarkan nalar dan tanggung jawab dan ibu memberi cinta dan moral. Keduanya tidak bisa dilepaskan sebab mereka adalah diri kita. Kita tidak bisa lepas dari keduanya sebagaimana jiwa tidak bisa lepas dari raganya. Bila dilepas maka kematian yang ada. Tidak ada yang lebih tinggi, yang ada mana yang harus dibaktikan terlebih dahulu.

Agama membangun keyakinan dan budaya mengokohkan keyakinan. Kala bahasa langit turun ke bumi, maka bahasa yang disampaikan pada manusia harus bahasa bumi. Memang benar kita adalah pemimpin dan penjaga bumi, namun jangan lupa jika kita ini adalah anaknya. Tugas anak adalah berbakti pada orang tua terutama pada ibu. Lalu ayah dan sesama.

Banyak catatan sejarah yang mencatat peran antara manusia, alam, dan agama secara seimbang. Peradaban bangsa mesopotamia, peradaban mauria, peradaban andalusia, maupun peradaban di nusantara pun menjunjung tinggi keselarasan dari tiga peran ini. Bila ayah menekankan hubungan antara manusia dengan pencipta dan sesama, maka ibu pertiwi menambahkan hubungan dengan semesta terjaga selaras dengan yang lain.

Tugas utama kita sudah jelas, hanya tujuan kita yang kadang kala bias. Menganggap percepatan teknologi adalah keniscayaan, tetapi lupa membangun peradaban luhur bernama moral dan religi. Itu pun masih dibenturkan antara moral dan religi supaya tidak padu layaknya lagu penuntun kalbu.

Lagu penuntun kalbu selalu berkumandang di sekitar kita, lagu ketenangan, kedamaian, keindahan, dan kepedulian selalu bergema di semesta ini dengan frekuensi yang lain satu sama lain. Seandainya kita bisa menyesuaikan frekuensi kita dengan alam, maka nyanyian makhluk dan seisinya akan terdengar sebagaimana para pendahulu kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun