Mohon tunggu...
Kyosinora Aqila Danish Ara
Kyosinora Aqila Danish Ara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang sedang bergulat dengan tugas-tugasnya.

Selanjutnya

Tutup

Love

Fenomena Perselingkuhan dalam Rumah Tangga dan Dampaknya Pada Mental Anak

7 Januari 2025   19:37 Diperbarui: 7 Januari 2025   19:37 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Perselingkuhan merupakan tindakan tercela berupa pengkhianatan yang dilakukan suatu individu kepada individu lain dan dalam konteks ini merupakan pasangan suami istri yang sudah memiliki buah hati. Perselingkuhan dapat mengakibatkan trauma bagi pihak yang dikhianati. Walaupun ada pepatah menyebutkan bahwa 'time will heals' tetapi tetap tak mudah bagi individu tersebut untuk kembali membuka hati bahkan memberi kepercayaan kepada orang lain. Perselingkuhan di dalam rumah tangga sering dianggap sepele oleh pelaku karena menurutnya hal tersebut hanya tindakan impulsif yang dapat dirubah seiring berjalannya waktu. Namun hal tersebut tidak benar, ada kecenderungan bahwa pelaku perselingkuhan selalu mengulangi perilakunya saat ada celah dan kesempatan.

Sering kali suatu individu berselingkuh karena kurang puas dengan pasangan yang saat ini dan tergoda dengan individu lain yang diarasa lebih sempurna. Lalu individu tersebut akan mengenyampingkan hal-hal yang telah mereka lalui bersama dan lebih memilih individu baru yang belum ia kenal dengan baik. Hal tersebutlah yang akan membuat mental individu yang dikhianati menjadi terguncang. Mereka kerap merasa insecure atas segala hal dan menyalahkan dirinya sendiri atas perilaku yang diperbuat oleh pasangannya atau disebut juga sebagai penurunan self-esteem pada suatu individu.

Perselingkuhan tak hanya berdampak kepada mental individu yang dikhianati saja, sang buah hati juga dapat merasakan hal serupa yang justru akan mengakibatkan trauma jangka panjang. Anak-anak biasanya lebih peka dengan keadaan sekitar terutama tentang perasaan kedua orang tuanya. Mereka bahkan dapat dengan sadar bahwa ada sesuatu yang berubah jika ada yang hilang dari kebiasaan mereka. Terlebih bila ia melihat langsung pertengkaran kedua orang tuanya, maka hal tersebut akan otomatis diingat sebagai hal yang traumatis bagi sang anak. Hal tersebut dapat membuat anak berubah menjadi lebih diam karena mengira pertengkaran kedua orang tuanya disebabkan oleh dirinya.

Kebanyakan pihak korban memilih untuk memaafkan sang pelaku karena satu dua hal terutama karena buah hati yang masih membutuhkan bimbingan kedua orang tua. Namun, pelaku perselingkuhan cenderung akan mengulangi perilakunya dan lebih pandai dalam menutupi kebejatannya. Korban akan sering cemas karena hal-hal kecil dan pelaku akan lebih mudah mengendalikan atau memanipulasi dengan kebohongan-kebohongan lain. Perselingkuhan memang memiliki buntut panjang dan tidak ada habisnya karena menyangkut dengan psikologi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun